OPINI, SABDATA.ID – Merenungi, sesungguhnya apa hakikat dari dunia ini? Seringkali manusia menafsirkan kehidupan ini dengan sangat beragam. Namun kita menemukan titik temunya bahwa yang niscaya adalah dunia sebagai tempat mensucikan diri.
Perenungan
Di kehidupan dunia ini, manusia terlahir dengan kondisi yang setara dihadapan Tuhannya sebagai mahkluk yang memiliki potensinya masing-masing. Diberikan tubuh dan alat-alat indrawi seperti mata untuk melihat realitas dan manivestasi keindahan-Nya.
Telinga untuk menangkap bunyi yang hadir di realitas kehidupan, suara kebisingan, suara keindahan irama musik, suara keindahan lantunan ayat-ayat kauniahnya, dan juga suara-suara yang agak tak tenang karena keluhan-keluhan atas kehidupannya.
Namun mereka diberikan Akal dan Hati agar mampu mengelola kehidupan ini dengan suatu sistem yang menuntut pada tujuan penciptaan.
“Ohh...Sungguh, alam ini begitu kompleks” kataku disaat pagi hari sedang duduk termenung di depan kos Ciribel sambil menyeruput sebuah susu.
Merenungi, sesungguhnya apa hakikat dari dunia ini? Seringkali manusia menafsirkan kehidupan ini dengan sangat beragam. Namun kita menemukan titik temunya bahwa yang niscaya adalah dunia sebagai tempat mensucikan diri.
Disinilah tempat untuk beramal, tempat untuk beribadah, tempat untuk bekerja, tempat untuk beristirahat sejenak, walaupun di tempat ini jugalah menimbulkan banyak luka karena dinamika kehidupan.
Yah, ketika diperhadapkan dengan beragam persoalan-persoalan yang begitu kompleks namun harus tetap dijalankan membuatku harus bermuka tebal untuk terus membenahi diri.
Dalam kehidupan ini memang sangat lelah jika hidup hanya sekedar mengikuti keinginan orang lain dan hidup hanya untuk membahagiakan orang lain karena ada tingkatan pengetahuan masing-masing individu yang membuatnya pula beragam dalam sudut pandang. Pikirku, sambil menatap layar Handphone di hadapanku.
Baca juga: Opini, "To Matempo: Ketika Budaya Menjadi Buaya, Oleh: Mahrus Andis
Hari-hari terus berganti, waktu, Materi dan Jiwa bergerak terus menerus dalam kehidupan ini hingga tak menyisakan ruang yang pasif dari gerak, sebab selalu ada pembaharuan menuju pada derajat kesempurnaannya.
“Oh yang maha Cinta dan Kasih, sungguh aku tak tahu kemana kah lagi ku bersandar, sungguh tak kutemukan sandaran di alam ini selain kepadamu Wahai Sang pemilik Cinta dan Kasih”. Suara hati yang merintih kesakitan.
Mau kemana akan lari? Jika semua tempat dan sudut-sudut di alam ini selalu berpasangan dengan ujian hidup. Engkau ingin lari dari masalah satu dan telah menyelesaikannya, namun setelah itu hadir kembali ujian dalam bentuk yang lain, seperti itulah kehidupan. “Inilah resiko menjadi manusia” yang ditelah diberikan potensi Akal dan hati. Maka bersyukurlah
Penulis: Wa Indri Fitwi Rasim
Editor: Amasa
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun