Dilansir dari laman resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (kemenpppa.go.id), sepanjang tahun 2024 tercatat sebanyak 28.070 kasus pelecehan seksual, 80,0% korban diantaranya adalah perempuan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tiap tahun kasus pelecehan seksual terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Agaknya, salah satu faktor penyebab kian maraknya kasus pelecehan seksual adalah tidak adanya efek jerah yang diberikan kepada pelaku sehingga tidak ada rasa kapok dan penyesalan dalam diri pelaku setelah melakukan tindakan tak bermoral tersebut pada korban.
Hal tersebut menjadikan pelaku semakin menyepelekan tindakan pelecehan seksual.
Tak pandang bulu, tak pandang usia. Segala kalangan, anak-anak, remaja, orang tua, bahkan beberapa diantaranya lansia pun ikut diembatnya. Motif pelaku kian beragam, lokasinya pun tak lagi pilih-pilih.
Rumah, fasilitas umum, bahkan parahnya pelaku pelecehan seksual kini telah merangsek masuk ke ranah pendidikan.
Lalu, dimana lagi tempat yang aman bagi perempuan?
Seorang anak dilecehkan oleh ayahnya sendiri, keponakan dilecehkan paman, cucu dilecehkan kakek, murid dilecehkan guru.
Baca juga: Isu Edaran Uang Palsu oknum Pegawai UIN Alauddin, PMII Rayon FEBI cab. Gowa ikut Merespon
Lalu siapa lagi pelindung bagi perempuan?
Mirisnya, beberapa korban pelecehan malah disuruh bungkam, diancam, dan bahkan dipaksa melakukan klarifikasi dan pernyataan sikap.
Lalu sampai kapan kita akan menormalisasikan perilaku biadab pelaku dengan dalih Khilaf?
Maafkan saja? Itu belum cukup mengembalikan kondisi korban seperti sediakala.
Pelecehan seksual bagai kutukan bagi perempuan. Perempuan yang menjadi korban, perempuan pula lah yang disalahkan.
Beberapa korban tidak berbicara karena malu dan tidak merasa aman sehingga lebih memilih diam dan menganggap nasib buruk yang menimpah dirinya tak pernah terjadi.
Selebihnya adalah mereka para korban yang berani meneriakkan keadilan mengungkap kejahatan pelaku tapi justru menjadi pihak yang disudutkan, dicaci maki, dipandang kotor dan memalukan.
Dengan tidak memberikan ruang dan kesempatan berbicara bagi para korban, secara tidak langsung kita juga menjadi bagian dari pelaku yang mematikan mimpi para korban.
Lalu, bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat dalam menyikapi kasus pelecehan seksual?
Melalui tulisan ini, saya akan menawarkan satu langkah solutif yang barangkali bisa menjadi bahan refleksi kita bersama khususnya dalam menyikapi kasus pelecehan seksual.
Sebagai masyarakat, tentunya dukungan dari kita sangat dibutuhkan khususnya bagi para korban pelecehan seksual. Dukungan yang dimaksud tidak hanya berupa dukungan materil tapi juga dukungan moril.
Perlu kita ketahui bahwa yang paling dibutuhkan oleh para korban adalah support system yang mampu memperbaiki kondisi mental dan psikis korban, mengembalikan kepercayaan diri, dan rasa aman.
Keadilan bagi para korban pelecehan seksual tidak cukup hanya dengan memberikan sanksi pada pelaku akan tetapi bagaimana kemudian kondisi korban bisa kembali stabil baik itu kondisi fisik maupun mental.
Karena part paling berat bagi korban bukan pada saat tindakan pelecehan seksual menimpa mereka akan tetapi, part terberat bagi para korban adalah pasca kejadian pelecehan seksual.
Trauma yang dialami oleh para korban tidak akan sembuh begitu saja meskipun pelaku telah diberikan sanksi.
Olehnya itu, para korban membutuhkan dukungan moril dan psikis dari kita, masyarakat.
Penulis: Jeni Arsyad. HS (Formatur Ketua KOPRI cabang Gowa)
Editor: Abdullah
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun