Sebagai rekreasi-impresif, saya petikkan sebuah puisi yang tergolong berkualitas sastra tinggi dan sarat dengan nilai perenungan. Puisi berjudul Aku, karya Chairil Anwar di bawah ini mengandung misteri, sekaligus mengundang pembaca untuk merenunginya.
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup
Seribu tahun lagi.
Maret 1943
Puisi Chairil Anwar di atas memenuhi syarat disebut sebagai puisi yang bagus, prismatis dan berkualitas tinggi. Atau, lebih tepat disebut puisi yang memuisi (istilah Sapardi Djoko Damono: 1970-an).
Pada puisi Aku, tampak sangat kaya dengan penggunaan bahasa figuratif. Bahkan diksi, kata konkret, nada dan amanah di dalam puisi tersebut sangat sempurna. Tematik eksistensialisme Chairil terbaca pada larik ending puisinya: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Justru di mikroteks inilah terselubung misteri puisi tersebut.
Untuk memahami misteriusitas, atau makna yang luput The Overlooked, istilah Kritikus Narudin: 2019) pada puisi Aku ini, kita dapat meminjam teori Strukturalisme Genetika dari filsuf Lucian Goldmann. Yaitu, suatu pendekatan analisis sastra dengan mempertimbangkan relasi historis, referensi individual dan keterhubungan penyair terhadap realitas kosmos di luar teks puisinya.
Baca juga: Opini, "Terima Kasih, Wahai Pengamen" Oleh: Mahrus Andis
Tentu saja upaya analisis ke arah itu sudah sering dilakukan oleh para pengamat dan kritikus sastra sejak awal munculnya karya ini. Terutama, dari pendekatan hermeneutika, daya tafsir atas puisi tersebut menyimpulkan bahwa diksi Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi adalah ekspresi semangat revolusioner Chaeril di tengah cengkeraman penjajah saat itu. Dan tentu saja, idiom revolusioner ini masih berlaku di era kemerdekaan, dengan suasana batin yang lain.
Demikian, sekadar untuk memahami makna misteriusitas di dalam puisi. Dengan pemahaman ini, setidaknya mampu membuka kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual kita untuk sanggup mengenali sebuah puisi yang berkualitas sastra tinggi. Wallahu a'lam.
Penulis: Mahrus Andis
Editor: Amasa
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun