Opini, "Seberapa Penting Pengesahan RUU PKS Bagi Perlindungan Kaum Perempuan?" Oleh: Sitti Aisyah Achmad

Opini, "Seberapa Penting Pengesahan RUU PKS Bagi Perlindungan Kaum Perempuan?" Oleh: Sitti Aisyah Achmad
Setiap manusia yang diciptakan tentu memiliki hawa nafsu. Hawa nafsu inilah yang merupakan musuh yang paling sulit dilawan oleh manusia. Karena apabila godaan itu telah datang maka manusia pun tak sungkan menyalurkan nafsunya dengan melakukan hal buruk yang merugikan orang lain, misalnya melakukan kekerasan seksual. 

Kekerasan atau pelecehan seksual bukan lagi hal yang baru terdengar di Indonesia. Banyak sekali terdengar kasus pelecehan seksual yang menimpa seseorang khususnya terhadap perempuan dan anak-anak. Dari beberapa referensi yang saya baca terkait pengertian pelecehan seksual, menurut saya pelecehan seksual merupakan tindakan atau sikap yang dilakukan kepada seseorang sehingga membuat orang tersebut merasa tidak nyaman, terlebih lagi jika tindakan atau sikap tersebut yang dilakukan mengarah ke perbuatan seksual.

Jadi, bisa dibilang bahwa pelecehan seksual itu tidak selalu berpatokan pada fisik saja tapi bisa juga non fisik (perkataan/ucapan). 

Selain itu, pelecehan seksual bisa terjadi pada semua orang tanpa memandang status, agama, pendidikan, suku, ras dan terutama jenis kelamin. Pelecehan seksual juga bisa terjadi dimana saja, misalnya di jalanan, di tempat umum, di kantor, di sekolah, bahkan di lingkup terdekat dan dianggap paling aman yakni lingkungan keluarga.

Terlebih lagi beberapa daerah di Indonesia masih menganut budaya Patriarki yang menganggap bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, sehingga posisi perempuan pun termarginalkan di dalam masyarakat. Budaya patriarki membuat laki-laki merasa memiliki kekuasan termasuk pada tubuh perempuan, sehingga pelecehan seksualpun rentan terjadi dimana saja.

Posisi perempuan yang tersudutkan (tersebut) membuat masyarakat menganggap bahwa perempuan hanya harus berurusan dengan dapur, kasur dan sumur sehingga setelah lulus sekolah banyak anak perempuan yang langsung dinikahkan tanpa perlu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi.

Terdapat beberapa bentuk pelecehan seksual, yakni pelecehan seksual verbal merupakan tindakan yang dilakukan bukan melalui kontak atau sentuhan fisik tetapi melalui lisan, seperti candaan, bullyan, merayu, berkomentar negatif, penghinaan, dan berbagai sikap lain yang mengarah ke tindakan seksual.

Misalnya, seorang perempuan melewati beberapa pria yang sedang nongkrong, lalu salah satu atau lebih dari pria tersebut bersiul dengan maksud menggoda maka inilah yang termasuk pelecehan seksual berbentuk verbal karena dilakukan tanpa menyentuh fisik dan hanya melalui siulan tapi hal itu membuat orang lain merasa terganggu dan tidak nyaman.

Selanjutnya, pelecehan seksual dalam bentuk non-Verbal atau isyarat yakni tindakan yang dilakukan seseorang melalui gestur atau bahasa tubuh yang berkonotasi seksual, seperti mengedipkan mata, menatap seseorang dengan tatapan penuh nafsu, menunjukkan isyarat dengan jari, menjilat bibir, serta berbagai gerakan tubuh lainnya.

Lalu, (ada pula) pelecehan seksual berbentuk fisik, yakni tindakan yang dilakukan secara nyata dengan melakukan sentuhan fisik, misalnya meraba, mencolek, mengelus, memijit, memeluk, mencium serta berbagai tindakan lain yang mengarah (pada) perbuatan seksual.

Lalu pelecehan seksual berbentuk visual, yakni perbuatan yang dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berbau seksual atau pornografi kepada orang lain, misalnya menunjukkan gambar, poster dan video porno atau bisa juga dengan mengirimkan tulisan yang berbau seksual melalui sms atau media sosial.

Dan yang terakhir pelecehan seksual berbentuk psikologis atau emosional yakni tindakan seksual yang membuat orang lain merasa risih dan malu yang tentu hal itu mempengaruhi psikologis korban. Misalnya mengajak kencan berulang kali atau menghina seseorang ke-arah seksual.

Dari banyaknya bentuk pelecehan seksual tentu dibutuhkan sebuah aturan yang bisa melindungi masyarakat dari tindakan tersebut yakni RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016 namun hingga saat ini belum juga disahkan oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang.

Banyak sekali polemik tentang RUU ini, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Dari pihak pendukung menganggap bahwa RUU ini sangat penting dan harus segera disahkan karena didalamnya berisi sanksi bagi pelaku serta upaya perlindungan korban. Sedangkan pihak yang menolak beranggapan bahwa RUU ini diambil dari pikiran barat jadi tidak cocok diterapkan di Indonesia dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan pancasila.

Selain itu, ada 3 poin yang menjadi perdebatan mengapa RUU PKS tak kunjung disahkan yakni perdebatan mengenai judul, perdebatan mengenai definisi yang dianggap bermakna ganda, dan perdebatan mengenai pemindaan yang dianggap bertentangan dengan KUHP.

Alasan mengapa banyak pihak terutama kaum perempuan terus mendesak disahkannya RUU PKS adalah angka kekerasan seksual terhadap perempuan yang selalu meningkat setiap tahunnya, selain itu kasus kekerasan yang dilaporkan oleh perempuan kadang malah merugikan dirinya, misalnya kasus Baiq Nuril yang dianggap menyebarkan konten asusila dan malah dijatuhi hukuman 6 bulan penjara.

Padahal ialah yang menjadi korban sebenarnya sudah ada aturan yang dibuat sebelum diusulkan RUU PKS misalnya pasal 285-288 dalam KUHP yang mengatur tentang kejahatan perkosaan, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 

Semua aturan tersebut dianggap hanya berlaku pada ranah dan kondisi tertentu sehingga diusulkan-lah RUU PKS untuk melengkapi aturan yang sudah ada.

Di dalam RUU PKS terdapat 9 bentuk kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perkosaan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Tentu jika RUU PKS benar-benar disahkan maka aturan ini akan menjadi payung hukum untuk melindungi korban pelecehan seksual terutama yang sering terjadi pada anak dan perempuan yang dianggap sebagai kaum lemah dan tak berdaya.

Maka dari itu, hingga saat ini elemen masyarakat terutama perempuan yang tergabung dalam suatu komunitas, organisasi atau semacamnya yang mendukung hak perempuan terus mendesak agar RUU PKS bisa disahkan, tak lain dan tak bukan tujuan utamanya hanya untuk melindungi hak-hak korban pelecehan seksual yang sering diabaikan serta memberikan proses hukum bagi pelaku tindak pidana pelecehan seksual.



Editor: Amasa

Posting Komentar

2 Komentar

Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun