OPINI, SABDATA.ID – Ada dua perayaan terbesar dalam Islam yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Hari di mana kawan, sahabat serta kerabat saling bersua memperkuat silaturahim dan bermaaf-maafan yang meriahkan dengan daging qurban guna mengingat ketakwaan Ibrahim as. dan Ismail as. serta merupakan sunnah Rasulullah saw.
Idul Adha tahun kemarin tepatnya 2021 M, serentak baik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi. Namun idul adha tahun ini, 2022 mengalami perbedaan pendapat antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi.
Yang dimana pada sidang Isbat beberapa hari lalu mengambil kesepakatan bahwa Tanggal 1 Zulhijah tahun 1443 Hijriah ditetapkan jatuh pada Jumat tanggal 1 Juli 2022, tutur Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi usai memimpin Sidang Isbat (Penetapan) Awal Zulhijah, di Jakarta, Rabu (29/6/2022)."Dengan demikian Hari Raya Idul Adha 1443 H jatuh pada 10 Juli 2022," imbuh Wamenag (kemenag.go.id).
Dilansir dari nu.or.id. Perbedaan tersebut karena ketidaksamaan mathla' atau letak geografis antara Indonesia dan Arab Saudi. Jarak yang cukup jauh ini, sekitar 8 ribu kilometer, membuat ketinggian hilal juga berbeda. Semakin ke barat, hilal akan tampak lebih tinggi dibanding dengan wilayah yang lebih timur. Letak Indonesia yang lebih timur dari Arab Saudi membuat ketinggian hilalnya lebih rendah. Karenanya, potensi perbedaan penetapan awal bulan termasuk Dzulhijjah ini cukup tinggi."
Perbedaan pendapat atas penentuan waktu Idul Adha tersebut tentu memiliki dasar ataupun dalil yang kuat yang mana disusun dan diputuskan oleh orang-orang yang sudah ahli dibidang tersebut. Inilah uniknya Islam, inilah keindahan dalam islam. Tidak perlu menuduh bukan Islamlah jikalau tidak ikut si A atau si B karena yang menjadi esensi dari perayaan Idul Adha adalah adalah bagaimana meningkatkan ketaatan dan ketaqwaan kepada Tuhan seluruh alam.
Selama ditentukan dan dikerjakan oleh orang-orang yang berpegang teguh pada Al-quran dan nabi Muhammad saw. maka tidak perlulah diantara kita sampai menyalahkan antara satu sama lain atau memusingkan hal tersebut sampai berdebat panjang lebar sehingga malah keluar dari esensi dan makna dari Idul Adha itu sendiri.
Ustadz Abdul Somad sempat mejelaskan hal ini bahwa “Perbedaan penentuan waktu tersebut juga pernah terjadi di zaman Salaf. Maka, UAS menekankan agar tidak memusingkan perbedaan tersebut dan tetap mengikuti penentuan waktu di daerah masing-masing. Kuraib, dari Madinah ke Syam. Di Syam mereka melihat Hilal malam Jum'at. Ibnu Abbas di Madinah melihat Hilal malam Sabtu. Syam dengan Madinah aja beda mathla, apalagi Makkah dengan Pekanbaru," pungkas UAS. (Suara.com)
Sampai di sini kita harusnya paham bahwa perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah keniscayaan. Dan Islam hadir dengan rahmatnya, dengan ajarannya yang merangkul kita semua. Bukan perkara baik atau buruknya, karena bagaimanapun ajaran Islam tentu baik, karena asalnya dari Tuhan sendiri atau melalui perantara nabi Muhammad saw.
Jikalau salah dari ijtihad tersebut, maka bukan hal buruk di mata Allah dan jikalau benar dari ijtihad tersebut maka bukanlah hal yang perlu di agung-agungkan ke orang lain atau ke siapapun. Karena baik atau buruknya, salah atau benarnya, masing-masing memiliki keistimewaan dan kedudukan yang layak di mata Tuhan.
Refleksi Moral
Di momen Idul Adha kali ini betul-betul membuat kita perlu lebih menilik ke lembaran sejarah ketika Islam as. akan di sembelih oleh ayahnya sendiri, bapak para nabi yakni Ibrahim as. Ketika ego Ibrahim as. harus ia turunkan demi ketaatan dan ketaqwaan pada sang penciptaan. Begitu mendengar bahwa perintah itu langsung dari Allah maka Ismail dan Ibrahim dengan penuh keikhlasan senantiasa melakukannya.
Ketika Ismail disembelih dan ia pun digantikan menjadi domba maka disinilah Allah tunjukkan kuasanya. Domba tersebut laksana surat kepada Ibrahim dan kita semua bahwa apa yang kita miliki saat ini, yang paling kita sayangi sekalipun. Baik harta, pangkat ataupun jabatan. Bahkan anak sekalipun adalah milik Allah, titipan dari tuhan.
Dalam firmannya Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Q.S Al Hajj:37). Inilah esensi dari idul adha bahwa bukan daging qurbanya-lah yang menjadi tolak ukur namun sifat atau rasa kepemilikannya lah yang harus kita singkirkan.
Baca juga: Opini, "Spiritualitas-Fungsi Sosial Cinta Perempuan dalam Perwajahan Politik" oleh: Yusril
Begitupun dengan kita di momen Idul Adha saat ini. Menyapu ego lantaran ingin selalu dikedepankan. Menyadari bahwa kita semua hanya singgah di bumi Tuhan dan semua hanya miliknya. Menyapu sifat kebinatangan dalam tiap diri lantaran perbedaan pendapat yang terjadi sehingga saling menghina antara satu sama lain, saling menjatuhkan sampai bercera-berai antara satu sama lain.
Menyapu sifat merasa paling benar karena yang paling benar hanyalah Tuhan seluruh alam. Segala keburukan dalam diri kita, di Idul Adha kali ini kita singkirkan agar meraih esensi dari idul adha itu sendiri yakni semua adalah milik Allah swt.
Penulis: Akmal Al Khair Syam (Ketua umum FLP Ranting UINAM)
Editor: Muarbi Muayyad
2 Komentar
👍✨
BalasHapusSiapp
BalasHapusBeri komentar masukan/saran yang bersifat membangun