Opini: Politik Hukum Pembentukan RUU Perampasan Aset

Penulis: Andi Resky Firadika, Andi Safriani



OPINI, SABDATA.ID – Pembentukan RUU Perampasan Aset merupakan salah satu inisiatif legislasi paling strategis dalam agenda reformasi hukum Indonesia.

Politik hukum pembentukan RUU Perampasan Aset adalah upaya negara menyediakan instrumen hukum yang efektif, cepat, dan terukur untuk merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana, dengan tetap memberikan ruang perlindungan hak bagi pemilik aset.

RUU ini pada dasarnya merupakan langkah untuk memodernisasi penegakan hukum, memerangi korupsi, dan memastikan bahwa crime does not pay.

Dengan demikian negara butuh aturan ini karena banyak pelaku kejahatan (korupsi, narkotika, TPPU) yang sulit dihukum, tapi asetnya bisa dilacak.

Negara bisa merampas aset tanpa harus memvonis pelakunya terlebih dahulu. Ini juga efektif untuk menghadapi pelaku yang kabur atau sulit dibuktikan.

Namun, dibalik urgensi pemberantasannya terhadap korupsi dan kejahatan ekonomi RUU ini sering tertahan, alasannya yaitu jika disahkan, aktor-aktor politik atau ekonomi yang punya aset bermasalah bisa terkena imbasnya.

Sehingga terjadi tarik-menarik kepentingan, bukan sekedar pertimbangan teknis hukum. 

Selain itu, dapat memunculkan kekhawatiran bahwa negara bisa menyalah gunakan kewenangan untuk merampas aset tanpa putusan pidana dan berisiko melanggar asas praduga tak bersalah serta membuka peluang kriminalisasi.

Pada akhirnya RUU ini memunculkan dilema antara kepentingan publik dan perlindungan hak individu.

Dimana masyarakat ingin koruptor dihukum dan uang negara kembali. Tapi jangan sampai aturan ini merugikan orang yang sebenarnya tidak bersalah.

Jika dianalisis dari aspek politik hukum, RUU ini menunjukkan arah negara yang cenderung instrumentalis. Hukum dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini, pemulihan aset).

Namun ini memunculkan  kritik pada dua titik, yaitu:

1. Politik hukum yang top-down
RUU ini didorong terutama oleh eksekutif dan tekanan internasional (UNCAC), bukan dari partisipasi publik yang kuat.

Model top-down seperti ini rawan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan.

2. Lemah dalam pengaturan atau pembahasan tentang tata kelola aset

Politik hukum bukan hanya bagaimana merampas, tetapi juga bagaimana mengelola. RUU belum memberikan solusi jelas terkait siapa yang paling tepat mengelola aset rampasan dan bagaimana mencegah korupsi di tahap pengelolaan.

Kesimpulannya yaitu RUU Perampasan Aset merupakan kebutuhan nyata dalam menghadapi kejahatan ekonomi modern.

Namun kebutuhan tersebut tidak boleh membenarkan pelemahan prinsip-prinsip dasar hukum.

Politik hukum pembentukan RUU ini harus dipahami dalam dua kutub yaitu keinginan negara memulihkan aset dan kewajiban negara melindungi hak warga negara.

Tantangan terbesar dari RUU ini bukan pada konsepnya, tetapi pada konsistensi negara dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Jika Indonesia berhasil membangun mekanisme perampasan aset yang adil, transparan, dan akuntabel, maka RUU ini akan menjadi tonggak reformasi hukum.

Namun jika tidak, ia berpotensi menjadi preseden buruk dalam konsolidasi kekuasaan negara atas nama pemberantasan kejahatan.

Pertanyaannya adalah Bagaimana Interaksi Hukum dan Politik dalam RUU Perampasan Aset 
Pembentukan RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa sistem hukum dan sistem politik memiliki hubungan yang saling menentukan.

Di satu sisi, politik berperan menetapkan arah dan tujuan hukum melalui pilihan-pilihan kebijakan yang ingin dicapai negara, seperti penguatan pemberantasan korupsi dan pemulihan aset kejahatan.

Karena itu, substansi RUU misalnya penerapan mekanisme non-conviction based asset forfeiture merupakan hasil dari keputusan politik hukum yang bersifat strategis.

Namun di sisi lain, sistem hukum juga berfungsi membatasi dan mengontrol kekuasaan politik melalui prosedur, asas, dan mekanisme perlindungan hak warga negara agar proses perampasan aset tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Relasi ini membuat pembentukan RUU Perampasan Aset tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan yuridis, tetapi juga oleh dinamika kekuasaan, negosiasi antar lembaga negara, serta kepentingan aktor politik yang terlibat.

Dengan demikian, korelasi sistem hukum dan politik dalam pembentukan RUU ini bersifat timbal balik yaitu politik menentukan arah dan isi hukum. 

Sistem hukum memberikan batasan agar kekuasaan tidak disalahgunakan, politik membutuhkan hukum untuk legitimasi, dan hukum yang lahir dapat mengubah struktur kekuasaan politik itu sendiri.







Penulis: Andi Resky Firadika, Andi Safriani, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Indonesia

Posting Komentar

0 Komentar