Fenomena Keramat

OPINI, SABDATA.ID — Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan dua arti kata “suci”, yaitu pertama sebagai yang suci dan dapat melakukan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan. Sedangkan arti kedua dalam KBBI, kata "suci" berarti suci dan beruntung yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain.

Sakral atau karomah dalam pengertian umum masyarakat lebih dekat dengan makna pertama dalam KBBI. Keramat atau karomah dapat berupa pemotongan jarak dimana seseorang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak yang sangat jauh dalam waktu singkat di luar batas biasanya. Akan tetapi kemampuan di luar akal itu bukanlah pemangkasan jarak hakiki. 

Baca Juga: Manusia, tersesat

Kemampuan hal unik itu sejatinya adalah  jarak dunia sehingga seorang dapat melihat akhirat sebelum waktu yang telah ada sebagaimana telah di jelaskan oleh Syekh Ibnu Athaillah:

“jarak hakiki adalah sebagaimana engkau melipat jarak dunia sehingga engkau melihat akhirat jauh ebih dekat ketimbang dirimu sendiri.”

Selain jarak, keramat atau karomah juga bisa di artikan sebagai pemangkasan waktu di mana seseorang itu mampu berpuasa sepanjang waktu atau bertahajud pada di setiap malam tanpa merasakan waktu. Hal ini yang dimaksud adalah pemangkasan waktu, akan tetapi sesungguhnya bukan ini keramat atau karamah sejati sebagaimana telah di jelaskan oleh Syekh Syarqawi, yaitu:

“(Jarak hakiki adalah engkau) wahai murid (melipat jarak duniamu) dalam arti engkau tidak sibukkan dengan kenikmatan dan keinginan duniawi serta tidak akan bergantung padanya,akan tetapi engkau akan tersembunyi darinya (sehingga engkau melihat akhirat jah lebih dekat ketimbang dirimu sendiri) dalam arti akhirat itu tampak di hadapan kedua matamu.tetapi Akhirat itu tidak tersembunyi . Inilah lipatan jarak hakiki di mana Allah yang memuliakan para wali-Nya. Dengan jarak hakiki ini, kehambaan mereka kepada Allah akan terwujud, bukan berarti dengan melipat jarak dalam arti langkah ‘luar biasa’. Pasalnya langkah luar biasa itu bisa terjadi dalam bentuk istidraj dan tipu daya belaka. jarak hakiki juga bukan melipat jarak waktu dalam waktu malam dan siang dengan tahajud dan puasa karena boleh jadi riya dan ujub terselip di dalam hati keduanya sehingga berakhir dengan kerugian.”

Keramat atau karamah sejati itu muncul karena terbitnya nurul yaqin (cahaya keyakinan) di dalam hati. Tanpa terbitnya cahaya keyakinan itu, orang tidak akan bisa memandang jauh akhirat seakan di hadapannya. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Syarqawi:

“Seseorang hamba tidak akan mungkin melipat jarak dunianya kecuali setelah munculnya cahaya keyakinan yang ada di dalam hatinya. Ketika cahaya itu muncul, maka dunia akan lenyap dari pandangannya dan ia akan melihat akhirat itu hadir di hadapannya dan muncul di dekatnya. Orang yang memiliki pandangannya seperti ini takkan terbayang padanya yang mencintai sesuatu yang fana yaitu dunia, dan menukarkan sesuatu yang kekal yaitu akhirat dengan dunia. Sedangkan seseorang yang tidak muncul cahaya keyakinan di dalam hatinya akan mencintai dunia dan lebih mengutamakan dunia ketimbang akhiratnya bergantung pada dunia dan akan lenyap dari kehadiran Allah swt karena kelemahan keyakinan dan ketakwaannya di dalam hatinya.”


Dalam penjelasan di atas bahwa ketika seseorang telah menghadapkan hatiya dengan niat yang tulus karna hanya ingin mendapatkan ridha Allah swt maka apapun yang diperbuat selama masih menyangkut pautkan dengan nama allah dan tidak keluar dari ajaran islam maka perbuatan tersebut itu tidak menjadikannya ia syirik ataupun yang bisa menyukutukan Allah swt.

Perspektif Hukum Islam

Dalam pandangan ilmu Tauhid, potensi daya atau kekuatan yang dimiliki oleh benda-benda seperti kemampuan  api untuk menghanguskan, pisau untuk memotong, atau sejenis keris yang memiliki khasiat tertentu merupakan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Allah Maha Segala kekuasaannya dan maha menghendaki. Justru dengan tidak percaya bahwa Tuhan mampu memberikan kekuatan tertentu pada suatu benda dapat mengingkari hakikat qudrat dan iradat Allah swt. 

Oleh karena itu, yang perlu diteliti adalah bagaimana seseorang mempercayai kekuatan yang dimiliki oleh suatu benda. Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tuhfatul Siswa Syarh Jauharah at-Tawhid halaman 58 menjelaskan empat tipe orang yang meyakini kekuatan & kekuatan suatu benda. 

a. Pertama, Apabila orang tersebut meyakini keris memiliki kekuatan & keampuhan tersendiri tanpa peran serta dari Allah. maka orang tersebut berstatus kafir menurut kesepakatan mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan oleh Syekh al-Bajuri:

“Siapapun yang berpikiran bahwa penyebab biasa seperti api, pisau, makan dan minum mempengaruhi penyebab mereka. Pengairan itu menurut fitrah dan fitrahnya masing-masing, maka ia kafir kepada kerukunan dan kekenyangan, seperti membakar dan menebang.”

b. Kedua, Apabila ia meyakini bahwa kekuatan keris tersebut merupakan titipan dari Allah kepada keris tersebut, maka menurut pendapat yang ashah (paling shahih) orang tersebut dihukumi fasik.

“Atau berkeyakinan bahwa terjadinya sebab kekuatan (kelebihan) yang diberikan Allah didalamnya menurut pendapat yang paling shahih tidak sampai kufur tapi fasiq dan ahli bid’ah”. 

c. Ketiga, Apabila ia meyakini bahwa keris tersebut memiliki kekuatan yang pasti dan tetap atas izin dan ketetapan dari Allah, maka orang tersebut dihukumi sebagai orang bodoh saja.

“Orang yang berkeyakinan bahwa hanya Allah swt yang memberikan pengaruh, namun Dia menjadikan hukum sebab-akibat yang pasti dan rasional antara suatu benda dan kemampuannya sehingga tidak mungkin kemampuan benda tersebut berubah, maka orang tersebut jahil alias bodoh”.

d. Keempat, bila ia meyakini bahwa keris dan badik tersebut menurut ‘adat (secara umum sehingga tidak terkait hukum sebab-akibat) memiliki kekuatan atas izin dan ketetapan dari Allah swt, maka keyakinan ini hukumnya boleh dan orang tersebut masih tergolong mukmin.

“Orang yang berkeyakinan bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh namun Dia menjadikan keterikatan yang berdasarkan kebiasaan umum antara suatu benda dan kemampuannya sehingga memungkinkan kemampuan tersebut berubah, maka orang tersebut tergolong orang mukmin yang selamat, insya Allah.”

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak boleh dengan mudah menghukum syirik atau kekafiran seseorang yang memiliki benda pusaka yang mereka keramatkan seperti keris, badik dan sebagainya. 

Baca Juga: Pesan Terakhir

Justifikasi hal untuk menilai tersebut kita harus benar-benar mengetahui persis bagaimana sebenarnya kepercayaan mereka terhadap keris. Apalagi saat ini banyak orang yang memelihara keris bukan untuk praktik perdukunan, melainkan hanya sebagai koleksi dalam rangka melestarikan warisan budaya Indonesia, apalagi kepercayaan itu ada di hati mereka, dan sulit diukur.

Sambung....






Penulis: Muhammad Alwansyah Syahrul (Mahasiswa Perbandingan Madzhab dan Hukum UINAM)
Editor: Nurham

Posting Komentar

0 Komentar