OPINI, SABDATA.ID – Di tengah arus cepat media sosial hari ini, kita hidup dalam budaya yang mendorong manusia untuk menjadi semakin terbuka, semakin berani, semakin spontan. Kita didorong untuk mengungkapkan apa pun yang kita rasakan. Entah dari keresahan, pendapat, hingga perasaan paling personal.
Salah satu fenomena yang makin sering muncul adalah ajakan confess, ungkapkan perasaanmu, beritahu orang yang kamu suka, jangan biarkan kesempatan berlalu begitu saja.
Tren ini muncul dalam banyak bentuk. Seperti video yang mengajak untuk “coba chat orang yang kamu suka”, template Instagram yang memicu orang untuk jujur, sampai konten motivasi yang mengatakan bahwa menyimpan perasaan sama saja dengan menyiksa diri sendiri. Narasinya sederhana, “Kalau kamu benar-benar suka, katakan saja”.
Namun, tidak semua orang melihat dunia dengan kacamata yang sama. Ada orang yang tidak merasa harus dan tidak ingin ikut dalam gelombang itu. Ada yang justru menemukan ketenangan dengan menahan diri, menjaga perasaan tetap pribadi, dan membiarkan hubungan berjalan tanpa pengakuan dramatis. Saya adalah salah satu dari mereka.
Esai ini adalah refleksi dari posisi itu. Bukan untuk membantah, bukan untuk menasihati, tetapi untuk menata ulang ruang bagi mereka yang memilih diam sebagai bentuk kendali, bukan ketakutan.
Ketika Tidak Semua Perasaan Harus Dipertontonkan
Saya tidak pernah confess. Bukan karena gengsi atau takut ditolak. Bukan juga karena saya melambungkan ekspektasi terlalu tinggi. Alasannya sederhana karena menurut saya, confess bukan sesuatu yang penting.
Saya bukan orang yang mudah tertarik pada siapapun. Penampilan, kesan pertama, atau interaksi singkat jarang sekali cukup untuk membuat saya tertarik. Saya lebih peka terhadap energi seseorang, kenyamanan ketika berbicara, atau konsistensi yang mereka tunjukkan dari waktu ke waktu. Dan karena ketertarikan saya tumbuh perlahan, saya tidak merasa perlu terburu-buru mengakuinya.
Ada orang yang meyakini bahwa perasaan harus segera disampaikan agar tidak menyesal. Saya mengerti itu, tapi saya tidak merasa cara itu cocok untuk saya. Justru karena perasaan itu berharga, saya memilih berhati-hati menempatkannya. Bukan untuk dipamerkan, bukan untuk diumbar, bukan untuk mengejar kepastian instan.
Hubungan yang Natural adalah Ruang Aman Saya
Ada satu hal yang selalu saya hindari, yakni ke-canggung-an. Bagi saya, dinamika yang nyaman antara dua orang bisa retak hanya karena satu kalimat, “Aku suka kamu”. Sederhana, tetapi efeknya panjang.
Saya tidak ingin percakapan yang tadinya santai berubah menjadi serba salah. Tidak ingin pandangan seseorang ke saya berubah setelah tahu saya punya rasa. Tidak ingin gesture kecil tiba-tiba punya makna baru. Dan terutama, saya tidak ingin kehilangan kebebasan menjadi diri sendiri hanya karena sebuah pengakuan yang seharusnya bisa saya simpan.
Bagi saya, hubungan yang natural jauh lebih berharga daripada kejelasan yang dipaksakan. Saya tidak terganggu dengan kedekatan tanpa definisi. Selama interaksinya bermanfaat, jujur, dan saling menghargai, itu sudah cukup.
Anti-Confess Bukan Penghindaran tapi Konsistensi
Dari penjelasan saya sebelumnya, sepertinya sudah sangat jelas bahwa saya termasuk tipe anti-confess. Saya tidak menganggap confess sebagai langkah wajib. Saya tidak melihatnya sebagai keberanian yang heroik. Bahkan, dalam banyak kasus, saya merasa confess bisa menjadi pintu menuju situasi yang tidak saya inginkan. Salah satunya, aib.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau di dunia ini ada beberapa orang yang suka membicarakan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dibicarakan. Pengakuan perasaan, ketika tidak dijaga, bisa berubah menjadi bahan cerita yang tidak menyenangkan. Dan saya ingin menjaga diri dari itu.
Ada kebanggaan tersendiri ketika menyadari bahwa tidak seorang pun tahu siapa yang pernah saya sukai. Tidak ada rekam jejak. Tidak ada chat masa lalu yang bisa diungkit. Tidak ada cerita yang bisa disalahartikan.
Perasaan saya bersih dari publikasi yang tidak perlu. Bagi saya, itu sebuah kemenangan kecil.
Budaya Confess yang Kadang Memaksa
Fenomena confess culture yang viral sekarang, terasa seolah semua orang harus berani. Seolah diam adalah pengecut. Seolah mengaku adalah satu-satunya cara valid untuk memulai hubungan. Padahal hidup tidak sesederhana itu.
Orang punya dinamika masing-masing. Ada yang nyaman dalam kepastian cepat, ada yang nyaman dalam proses yang lambat. Ada yang bahagia setelah confess, ada juga yang kehilangan hubungan berharga karenanya. Ada yang butuh validasi, ada yang cukup dengan perasaan yang disimpan rapat-rapat.
Ketika Diam Bukan Kelemahan, Tetapi Cara Merawat Diri
Saya belajar bahwa diam bukan tanda tidak peduli. Diam bukan bukti tidak berani. Tapi diam adalah cara saya mencintai diri sendiri dengan memberikan ruang untuk merasa, tanpa harus mempertanggungjawabkannya pada orang lain.
Diam berarti memilih kenyamanan daripada drama, memilih hubungan daripada risiko canggung, memilih privasi daripada pengakuan, memilih stabilitas emosional daripada ketergesaan. Diam adalah cara saya menghormati perasaan saya sendiri.
Semua Orang Punya Ritme Emosinya Masing-Masing
Tidak ada salahnya confess. Tidak ada salahnya diam. Yang salah adalah menganggap salah satu harus berlaku untuk semua orang.
Di era yang memaksa kita untuk cepat dan terbuka, memilih untuk menjaga perasaan tetap pribadi adalah tindakan yang berani. Bukan berani seperti yang dipahami media sosial, tapi berani mempertahankan kenyamanan dan integritas diri sendiri. Sebab tidak semua perasaan harus diumbar agar dianggap nyata. Ada yang justru tumbuh lebih sehat ketika dijaga dan didekap dalam diam.
Penulis: Rika Arlianti DM

0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun