OPINI, SABDATA.ID – Para sesepuh pendiri bangsa begitu sadar akan urgensi serta signifikansi agama dan kehadiran tuhan dalam ruang-ruang perjuangan kemerdekaan sebagai sumber spirit rohaniyah bagi para pejuang martir kemerdekaan dalam mempertahan daulat, harkat dan martabat bangsa.
Agama menjadi sesuatu yang elementer-fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena memiliki dasar legal-konstitusional kuat yang termaktub di dalam pembukaan dan UUD 1945.
Sudah semestinya esensialitas agama (baca:Nilai-nilai Utama Agama/Spirit agama) memperoleh maqam yang penting sebagai kompas atau meminjam terminologi soekarno sebagai leitstar (Baca:bintang Penuntun) utama yang mengajarkan kebaikan hidup bagi seluruh manusia (baca:Humanisme semesta) dan menjadi sumber utama doktrin pencerahan yang membawa kehidupan damai, teduh, welas asih dan serba utama.
Agama sudah seharusnya dan semestinya menjadi kekuatan transendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Agama dalam relasi intersubjektif kehidupan masyarakat Indonesia bukan sekedar tumpukan tuntunan ibadah yang bersifat ritualitas dan doktrin moral yang terkandung di dalam kitab suci.
Melampaui itu agama seharusnya menjadi Role model perilaku yang tercermin didalam tingkah nyata, sumber inspirasi bagi terciptanya keadaban masyarakat dan mendorong penganutnya memiliki watak progresif, dinamis, cinta pengetahuan dan identik dengan spirit kemajuan.
Mungkin itu yang menjadi konsepsi agama serta moda operandi relasional kaum agamawan pada tataran Das sollen. Tapi begitu mirisnya ketika kita melihat agama secara faktual bersentuhan dengan dunia politik.
Agama terkadang menjadi jualan empuk para demagog politik dalam menghadapi momentum politik (baca: politisasi agama). Politisasi agama memanfaatkan idiom-idiom keagamaan menjadi tumbal dalam perjuangan politik dan dijadikan sebagai legitimasi-ilahiyyah untuk memperoleh kekuasaan.
Walaupun agama kata Francis Fukuyama sebagai sebuah atribut yang melekat pada diri manusia menjadi salah satu identitas dari heterogenitas identitas lainnya yang tidak bisa dinegasikan.
Karena agama menjadi atribut-asasiyah pada diri manusia harus para pemeluk agama menjadi inspirator bagi keadaban publik dan tidak terjatuh kedalam parokialisme politik berbasis agama dan berbagai macam berhala politik identitas lainnya.
Terminologi spiritualitas terkadang dipahami secara parsial serta mengalami simplifikasi makna (baca:pengkerdilkan makna) sehingga pemahaman kita mengenai spritualitas terbatas kepada pelaksaan ibadah ritual semata yang nirmakna.
Spiritualitas terkadang dipahami sebagai spiritualisme yaitu spiritualitas yang hanya menitikberatkan ibadah ritual semata tapi krisis spirit esensialitas agama.
Spiritual yang isme hadir dalam varian ideologi baru, yang sarat dengan klaim terhadap kualitas relasi antara hamba dan rabb-nya, siapa yang paling rajin melaksanakan ibadah yang Nampak terlihat oleh matanya dianggap sebagai si paling spiritual ia menjadi pemegang otoritas kebenaran ilahiyyah, mendaku diri sebagai tentara tuhan dalam menghakimi kualitas ibadah seseorang, bukankah penilaian yang sifatnya metafisik (baca: Ghaibiyyah) merupakan hak preoregatif-otoritatif tuhan?
Kita perlu konsepsi spirtualitas yang holistik dan bermakna. Muhammad Ridha dalam bukunya sejarah pembungkaman berangkat dari pemaknaan Dr. Sabri Ar terhadap terminologi spiritualitas. Spiritualitas didefinisikan sebagai bentuk-bentuk religi yang menumbuhkan spirit, jadi spiritualitas dipahami sebagai kata kerja bukan malah merengkuh spiritualitas (baca:Iman) kedalam kata benda yang nirmakna.
Dalam konteks Tri kompetensi dasar Ikatan, Religiusitas (baca: spiritualitas) harus dimaknai secara aktif sebagai sumber spirit intelektualitas dan humanitas.
Intelektual-religus, humanis-religius harus dimaknai sebagai upaya menyiapkan insan-insan akedemisi Islam yg berakhlak mulia sebagai tujuan Ikatan.
Akademisi islam adalah insan akademik yg memiliki paradigma keilmuan integralistik serta kesadaran profetik. Berakhlak mulia dapat diterjemahkan sebagai upaya menjunjung tinggi moralitas luhur akademik dan kemanusiaan.
Jadi penafsiran subjektif saya sebagai penulis dapat disederhanakan, desain manusia yang diidealisasikan oleh ikatan adalah insan akademik paradigma keilmuannya integratif, menjunjung tinggi moralitas luhur akademik dan kemanusiaan dalam bingkai kesadaran profetik.
Sebagai insan akademik kader Ikatan mahasiswa muhammadiyah bertanggungjawab penuh sebagai pelanjut gerakan tajdid muhammadiyah.
Logika fundamental gerakan ijtihad muhammadiyah tetap berpegang teguh pada normativitas al-qur’an dan as-sunnah disertai modifikasi-modifikasi tertentu pada tataran historisitas kemananusiaan.
Sudah seharusnya Ikatan sebagai anak kandung intelektual muhammadiyah, pada tiap pundak kader ikatan dititipkan misi suci gerakan tajdid Muhammadiyah.
Kader ikatan menjadi pelopor pemikiran Islam yang bernuansa inovatif-pluralistik yang berpegang teguh pada Sofistifikasi dunia intelektualisme sebagai anti tesis terhadap pemikiran monolitik mainstream dalam menanafsirkan normativitas keagamaan yang bersumber pada al-qur’an dan as-sunnah.
Penulis: Adam Fortuna
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun