Opini, "Lingkungan Kampus Rawan Pelecehan Seksual, RUU PKS Solusi?" Oleh: Sitti Aisyah Achmad

Opini, "Lingkungan Kampus Rawan Pelecehan Seksual, RUU PKS Solusi?" Oleh: Sitti Aisyah Achmad
Akhir-akhir ini, viral terdengar kabar tentang pelecehan seksual di beberapa kampus yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswinya. Tak disangka kampus yang merupakan lingkungan orang-orang berpendidikan malah menjadi tempat terjadinya tindakan asusila.

Dari salah satu survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik, Koalisi Ruang Publik Aman menemukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), jalanan (33%), dan transportasi umum (19%).
Pelecehan seksual sepertinya hanya dianggap hal sepele, sehingga kasus seperti ini marak terjadi. Berbagai tindakan yang mengarah ke tindakan seksual dan membuat korbannya tidak nyaman seperti menyentuh, memegang, memeluk, mencium, menggoda, bersiul, menatap, dan berbagai tindakan lainnya itu bisa disebut sebagai pelecehan seksual.

Adanya relasi kuasa tentu menjadi salah satu penyebab terjadinya pelecehan seksual. Seseorang yang memiliki kekuasaan tinggi seolah merasa dirinya berhak melakukan apa pun sesukanya, terlebih kepada perempuan yang dianggap makhluk lemah.

Belum adanya perlindungan hukum yang kuat terhadap korban pelecehan seksual berakibat buruk bagi korban itu sendiri. Korban yang berani speak up (menceritakan kasusnya) ke publik, seringkali mendapat respon yang kurang baik.

Korban dianggap tidak memiliki bukti yang cukup, sehingga dituntut balik oleh si pelaku dengan tuduhan membuat cerita palsu untuk menjatuhkan nama dosen tersebut. Padahal sangat sulit dan butuh keberanian yang kuat untuk menceritakan kejadian terkait pelecehan seksual yang dialaminya. Meski tampak tak terluka di bagian fisik namun tidak di bagian psikis. Hal inilah yang membuat korban mengalami trauma berkepanjangan.

Belum lagi, pihak kampus kadang menyembunyikan kasus pelecehan seksual karena dianggap aib yang akan mencoreng nama kampus. Akibatnya korban akan ditekan dan dituntut untuk diam, menutup mulutnya rapat-rapat untuk menyimpan rahasia pelecehan tersebut.

Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan aturan mengenai hal tersebut, tapi masih dianggap tidak jelas sehingga menuai pro dan kontra. Aturan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 yang terdapat dalam pasal 5 ayat 2 yang intinya bahwa seseorang tidak boleh mengganggu privasi orang lain seperti mengambil gambar, merekam, dan menyebarkan informasi terkait tubuh korban tanpa persetujuan dari korban.


Dari narasi sebelumnya bisa dimaknai bahwa jika korban setuju, maka pelaku boleh saja mengambil gambar tubuhnya dan menyebarkan informasi tersebut sesukanya. Menurut saya, hal itu sama saja dengan melegalkan zina.


Di sisi lain, aparat hukum dianggap tidak tegas sehingga masyarakat seperti kehilangan rasa percaya untuk melaporkan kasusnya, melihat banyaknya korban yang melapor, tapi tidak ada tindakan apa pun selain korban malah kembali dilecehkan oleh oknum aparat tersebut.
Hukum di Indonesia saat ini masih butuh perbaikan, di mana aturan menimbulkan pro dan kontra, aparat yang dianggap kurang tegas dalam menangani setiap kasus. Seperti RUU PKS harus diterapkan (sebagai solusi) untuk menjadi payung hukum yang kuat sebagai perlindungan korban pelecehan seksual agar pelaku juga bisa jera dan pelecehan seksual tidak terjadi lagi, terutama di lingkungan pendidikan.





Editor: Rika Arlianti DM

Posting Komentar

0 Komentar