Langit memendam banyak air mata. Kadang-kadang menjatuhkan diri untuk menangisi diri sendiri. Pepohonan merebahkan diri tapi tidak mampu menyentuh pucuk jendela. Tanah basah dan jalanan keruh.
Di ruang kubus secangkir ingatan terbang meninggalkan sarangnya. Di kejauhan seseorang memanggil kekasihnya dengan nama kesayangan. Dering telepon yang menolak dijeda, kata-kata yang lupa dibungkam. Atau mata air mata menggenang yang siap mengenang di kamar tidur–malam nanti.
Dari sudut jendela tawa dan tawan melintas sekilas. Orang-orang berbondong-bondong memanggul kabar burung. Lalu pulang selekas-lekasnya sambil terhuyung.
Biarkan waktu bekerja keras meratapi kemalasanku yang rajin. Seperti aku kepada mereka: orang-orang yang telah hilang, orang-orang yang memayungi manusia yang menyukai hujan, dan orang-orang yang tidak mengenal diri sendiri.
Pukul petang langit biru harus menjingga, tapi mengabu hari ini dan mungkin esok jua. Suara anak-anak membelah jalan, mengusir kesepian yang sunyi. Kehidupan seperti cerita fiksi dan cerita fiksi layaknya kehidupan.
Ketika diserang rindu, aku akan mengatur pertemuan. Tapi sekarang tidak lagi. Karena dari sudut jendela kudapati seluruhnya, tidak terkecuali kamu yang sekarang di peluknya.
-Bulukumba, 16 Februari 2021
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun