Manusia, Tersesat

OPINI, SABDATA.ID – Tidak ada satu orang pun di dunia ini berada dijalan yang benar, semuanya tersesat pada jalannya masing-masing. Manusia disebut tidak lagi tersesat ketika ia telah menemukan kebenaran. Lalu adakah orang yang kini telah menemukan kebenaran? Apakah ada saat ini orang yang sudah memastikan dirinya benar? Jika tidak ada maka selama itu pula kita semua tersesat.

Tersesat memiliki akar kata dari istilah sesat yang artinya tidak melalui jalan yang benar atau yang penulis sebut jalan keraguan-raguan yang tidak berpuncak pada tujuan yang benar. Runutnya lagi, tentang kebenaran yang memiliki arti sebagai suatu keadaan atau hal sebagainya yang lurus dan diterima semua orang (mutlak).

Olehnya itu, tersesat disini adalah keadaan seseorang yang berada pada kondisi ketidakbenaran secara mutlak. Kebenaran mutlak ialah tentang semua orang sepakat akan hal kebenaran tersebut.

Saya teringat pada isi sebuah buku yang menjelaskan tentang kebenaran. Buku tersebut, Epistemologi Islam karya Dr. Akhmad Sodiq, M.A, dalam bukunya diterangkan bahwa terdapat dua jenis kebenaran yakni relatif dan mutlak.

Kebenaran relatif ialah kebenaran yang sifatnya subjektif sebagaimana semua orang punya standar penilaian kebenarannya masing-masing namun berbeda dengan kebenaran mutlak yang sifatnya objektif dalam artinya semua orang wajib bersepakat akan kebenaran tersebut.

Kebenaran relatif dapat dijumpai disaat dua orang berbeda pendapat terhadap suatu hal. Inti terhadap perbedaan pendapat tersebut adalah kebenaran yang relatif. Artinya dua orang yang saling berbeda pendapat itu semua pendapatnya benar bila ditinjau memakai sudut pandangnya masing-masing.

Terdapat segelas kopi susu di atas meja dan diajukan pertanyaan apa itu?. Si A menjawab bahwa itu gelas, si B menjawab bahwa itu kopi susu, dan si C menjawab bahwa itu enak. Pertanyaan selanjutnya, apakah jawaban semuanya salah? Tentunya semuanya benar meskipun jawaban yang diberikan berbeda-beda.

Tergantung dari sudut mana ia memandang kebenaran tersebut, si A menilai dari sudut bentuknya bahwa memang demikian itu adalah berbentuk gelas, si B menilai dari segi isinya bahwa memang isinya adalah kopi susu, dan si C menilai dari segi rasanya bahwa betul rasa dari kopi susu itu enak.

Semuanya benar dalam menjawab pertanyaan apa itu? Terhadap segelas kopi susu di atas meja. Benar sebab mengacu berdasarkan cara pandang masing-masing. Inilah disebut kebenaran subjektif yang semua orang memiliki kebenarannya masing-masing.

Lalu bagaimana dengan kebenaran mutlak tersebut? Hal demikian dapat dijumpai pada eksistensi tuhan yang mana semua orang sepakat akan hal itu bahkan seorang Atheis pun yang menurutnya tuhan itu tidak ada namun dalam keadaan tertentu ia mengakui adanya tuhan misal diantaranya dalam keadaan sakit.

Ketika seseorang telah menemukan kebenaran yang pasti (kebenaran objektif) maka ketika itu pula ia tidak tersesat. Sama seperti seseorang yang mencari tuhannya, selama ia masih dalam pencarian tuhan maka selama itu pula ia tersesat. Lalu kapan seseorang telah menemukan tuhannya? Menurut keterangan, ketika ia meninggalkan dunia ini.

Olehnya itu, semua manusia tersesat selama masih ada di dunia ini dan masih dalam keadaan pencarian kebenaran yang mutlak yakni ketuhanan.

Saya teringat sebuah kutipan yang menyebut, "Manusia itu dalam kondisi tidur, maka jika mereka telah meninggal mereka akan sadar" dikutip dari buku Epistemologi Islam karya Dr. Akhmad Sodiq, M.A hal. 99.

Kita boleh saja tersesat namun jangan menjadi orang yang sesat. Artinya ketika seseorang telah menjadi sesat maka saat itulah memilih dirinya berada di jalan tidak lurus berbeda dengan orang tersesat yang masih berusaha untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Inilah hakikat dari manusia tersesat.

Kita semua tersesat sebab fitrahnya semua orang saat ia belum mati maka saat itu pula ia akan selalu mencari kebenaran mutlak yang tidak ada keraguan didalamnya. Kebenaran tersebut ialah Tuhan.

Disamping itu, saya teringat perkataan dari seorang Tokoh Intelektual Muslim Indonesia, Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun).

Menurutnya manusia pada dasarnya tersesat sebab di dalam sholat seseorang diperintahkan untuk berdoa kepada tuhan agar menunjukkan manusia dijalan yang lurus.

"Kenapa Allah menyuruh agar dalam shalat kita memohon 'tunjukilah jalan yang lurus', kalau bukan karena fakta bahwa kita sebenarnya masih tersesat," dikutip dari laman Seniman NU, Kamis (15/9/2022).






Penulis: Abdullah
Editor: Darhan Sutradi Hukpar

Posting Komentar

0 Komentar