Cerpen, “Bahasa Cinta ala Emak” oleh: Andi Mutiara Muthahharah

CERPEN, SABDATA.ID – (-3)x(360-(-20)) = …

Bintang membaca soal, kemudian bergumam pelan. “Hmm … jadi, yang dikerjakan yang di dalam kurung terlebih dahulu. Jadi di sini 360=20 hasilnya tiga ratus emp …”

“Bintang! Tolong panggil adikmu untuk makan siang,” suara seseorang menggema di telinga gadis yang sedang berkutat dengan buku dan pena itu.

“Bergegas, Bintang! Sudah pukul berapa ini?!” suara itu kembali melengking dari arah dapur.

“Iya, Emak!” balas gadis itu tampak kesal.
“Huhh … jadi hilang deh, jawabannya. Padahal tadi sudah ketemu. Kenapa aku melulu yang harus menjadi terompet untuk memanggil si nakal Zul.”

“Zuuull … Zuuulll ...,” teriak Bintang ketika di halaman rumah. Tak berapa lama seorang bocah dari rumah sebelah tampak batang hidungnya dan berlarian kecil ke sumber suara.

“Kamu ini benar-benar  merepotkan. Kalau bermain ingat waktu!”
“Ah, Kak Bintang mulai lagi. Dah, kabur ke dapur, deh. Makan sianggg … aku datanngg!”

Bocah itu langsung meleset masuk. Bintang memelototi punggung adiknya dengan kesal.

“Kenapa, Bintang? Marahan lagi? Ya, sudah kalau memang tidak ikhlas disuruh Emak, tidak usah kerja. Daripada cuma dapat amarah, bukan pahala,” ceramah Emak ketika makan siang, dan saat itu ayahnya belum pulang kerja.

“Tidak apa-apa, Mak. Bintang ikhlas, tetapi si-Zul-nya saja yang merepotkan. Masa waktu makan masih harus dipanggil? Seharusnya dia sadar sendiri,” keluh Bintang sambil melirik adiknya yang acuh.

“Itu bukan masalah. Namanya juga masih kelas II SD. Kau pun dulu juga seperti itu, Bintang,” balas Emak.

Bintang tak berkutik dan melanjutkan makannya.
***

“Ciee … yang ultah …”
“Cie-cie … Bintang lagi ulang tahun, nih. Selamat, ya …”
“Selamat, ya, Bintang.”
Satu per satu, teman-teman sekelas Bintang menyalaminya. Beberapa bahkan ada yang memberinya kado. Pasalnya, sosok Bintang itu memang terkenal baik dan ramah pada teman-temannya.

Bintang tersenyum bahagia. Ia mengucapkan terima kasih pada semua teman-temannya.

“Bintang, ibu kamu kasih kado apa?” tanya Izzati saat mereka berjalan pulang bersama.
“Belum ada. Waktu aku bangun pun, Emak tidak memberi ucapan selamat. Cuma papa dan adikku yang memberi ucapan serta hadiah,” jawab Bintang dengan menunduk.

“Hm ... mungkin tadi pagi beliau lupa atau tidak punya waktu. Tenang saja, seorang ibu tak mungkin tidak memberikan hadiah untuk anaknya,” hibur Izzati.

Mereka berdua tiba di persimpangan. Izzati belok kiri, sementara Bintang terus ke depan. Di depan pintu rumah Bintang, Zul sudah stand by di sana menunggu kedatangan kakaknya.

“Selamat datang, Kak. Kakak pasti dapat banyak kado, kan? Boleh minta satu, nggak?”
“Hmm …, iya, deh. Kalo ada yang isinya makanan, aku bagi. Tapi janji bantuin buka kadonya, ya.”
“Ok, deh, Kak.” Zul tersenyum lebar.
“Eh, Emak mana?”
“Tidak tahu. Katanya tadi mau pergi sebentar, tapi nggak tahu ke mana? Katanya lagi, kalau mau makan siang, sudah disiapkan di lemari makan,” lapor Zul.
Bintang masuk ke kamar dengan penuh tanda tanya. Apakah Emak sedang pergi mencari kado untuknya? Ya, semoga saja.

***
Keliru. Gadis itu keliru benar soal kado tersebut. Sampai hari ini, hari ketiga setelah ulang tahunnya, ia belum mendapat ucapan, pun hadiah dari Emak.

Bintang terduduk lesu di teras rumah. Terlihat jelas dari rona wajahnya, organ yang disebut hati dalam tubuhnya itu sedang terluka. Cukup lama ia merenung sendirian di sana sampai kemudian bapak datang menegurnya.

“Kau kenapa, Nak? Wajahmu seperti benang kusut saja. Kau tidak suka pemberian Ayah, ya?” gurau ayah sambil ikut duduk di samping Bintang.

“Aku senang, kok, Yah, cuma kecewa sama Emak,” cerita gadis itu. Ayah menaikkan sebelah alisnya.

“Sampai hari ini pun emak belum memberi ucapan, terlebih hadiah atas ulang tahunku. Ayah, bukankah selalu ibu yang kali pertama mengucapkan selamat atas ulang tahun anaknya? Bukankah ibu yang selalu berusaha memberikan hadiah istimewa dari semua hadiah-hadiah yang diterima anaknya dari orang lain? Lah, ini emak kita tidak seperti itu,” Bintang menunduk sedih.

Satu menit, dua menit berlalu. Mereka berdua hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai menit berikutnya, ayah buka suara.

“Emak kau pun juga seperti itu, Bintang. Cuma kau saja yang tidak memperhatikan. Sampai sejauh ini, sampai umurmu menginjak dua belas tahun, emak senantiasa memberikan hadiah istimewa untukmu dan Zul.”

Bintang terlihat bingung. Kemudian ayah melanjutkan. “Hadiah istimewa itu kasih sayang, Bintang. Apakah kau tak pernah menyadari? Emak yang senantiasa menyiapkan makanan tiga kali sehari untuk kita. Emak selalu memberikan uang jajan agar kau bisa jajan di sekolah. Emak yang senantiasa memeriksa setiap luka yang ada di tubuh anaknya. Entah sudah berapa butir nasi dan berapa liter air yang emak berikan untukmu agar kau bisa tumbuh. Kau saja yang tidak pernah menyadari. Apa kau tak pernah membayangkan seandainya esok emak tak ada lagi di sisimu? Sungguh menyedihkan, bukan? Oleh karena itu, hadirnya emak untukmu sudah menjadi hadiah yang begitu istimewa,” jelas ayah panjang lebar.
“Tapi mengapa emak tidak mengucapkan selamat untukku, Yah? Apakah emak lupa semudah itu dengan hari ulang tahunku? Hari di mana beliau melahirkanku?”

“Tentu saja tidak. Emak tidak akan pernah lupa. Bahkan emak yang kali pertama mengucapkan selamat untukmu. Pas hari H itu, saat kau masih asyik di buaian mimpi, emak mengecup keningmu, memelukmu dengan penuh kasih dan membisikkan doa-doa di telingamu. Emak sampai meneteskan air mata. Kau tidak menyadari itu, kan?”

Bintang sejenak berpikir keras tentang perkataan ayahnya, lalu menunduk sedih. Ia merasa sangat bersalah kepada Emak.

“Iya, Ayah. Terima kasih. Maafkan Bintang,” ucap Binta sembari memeluk ayahnya.
“Minta maaf pada emakmu, Sayang.”

Bintang tersenyum dan berlari secepat angin menghampiri emak yang sibuk dengan tungku di dapur. Tanpa ba-bi-bu lagi, dipeluknya tubuh emak dengan erat.

“Maafkan, Bintang, Mak. Bintang janji akan menjadi cahaya untuk Emak. Cahaya yang bersinar melindungi Emak dan keluarga sampai kapan pun. Seperti doa dalam nama yang Emak dan ayah berikan untukku.”

Gadis berusia dua belas tahun itu menangis, menggenggam erat kalimat yang dikatakannya barusan, memantapkan hatinya untuk melakukan itu. Emak tak berbicara. Diletakkannya sendok sayur sup di atas kompor, lalu merangkul si sulung dengan penuh kasih.

Tertangkap jelas dari rona wajahnya. Ada hati yang berbunga.

***







Penulis: Andi Mutiara Muthahharah
Editor: Rika Arlianti DM

Posting Komentar

0 Komentar