OPINI, SABDATA.ID — Kebanyakan orang-orang terlalu lelah bersandiwara dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Seakan ingin bercerita kepada dunia tentang dirinya dan perasaanya bahwa takdir tak berpihak padanya, namun lupa bahwa orang lain juga punya masalahnya masing-masing yang berbeda, tanpa sadar bahwa masalah hidup bukanla hal yang baru. Seakan hanya hidupnya yang tak beruntung, melihat orang lain dengan ukuran porsi yang lebih besar, Mark Manson, menyebut hal ini dengan sebutan 'Tren Menjadi Korban'.
Pernahkah anda melihat orang yang berusaha untuk mencurahkan segala kekecewaan dan kesedihannya dengan curhat pada temannya?, namun nihilnya hanya berujung saling mengadu nasib, sang teman curhat pun seakan ingin teriak pada dunia bahwa hidupnya lebih menderita dari orang lain. Sangat lucu namun hal yang tak asing kita jumpai. Yap! sekali lagi ini disebut sebagai 'Tren Menjadi Korban', seakan semuanya berlomba-lomba ingin menjadi korban, agar mendapatkan perhatian dari orang-orang, Why? Dan untuk apa?.
Pada dasarnya sumber masalah bukanlah masalah itu sendiri, akan tetapi pikiran dan respon terhadap masalah itu sendiri dan tolak ukurnya. Kecenderungan ego membangkitkan porsi yang lebih besar dari kenyataan, dari apa yang sudah ada dan dimiliki, hingga merasa belum cukup tentang segala hal.
Baca Juga: Tentang Kepalsuan
Mengapa manusia selalu saja membangkitkan porsi besar tentang hidupnya, dengan alasan-alasan yang dianggap itu penting, tanpa mempertanyakan mengapa hal itu menjadi penting?, sudah kah hal itu layak dianggap sesuatu yang penting?, apa tolak ukurnya?, kemudian mengorbankan diri sndiri demi hal-hal yang dianggapnya penting tersebut.
Mengapa kita terus bertanya bagaimana saya keluar dari masalah ini?, Namun tanpa mempertanyakan hal yang sederhana dan mendasar, seperti bagaimana saya menyelesaikan masalah yang ku hadapi?, atau lebih sederhananya lagi, seperti pertanyaan mengapa hal itu saya anggap sebagai masalah?, mengapa saya harus menderita dengan masalah ini?, dan untuk atau demi tujuan apa saya harus merasakan penderitaan dari masalah ini?, hal yang berharga apa di balik masalah tersebut.
Lapisan kesadaran dan rentetan pertanyaan yang mendasar dan sederhana ini yang semestinya dihadapi dan dijawab terlebih dahulu!.
Satu fakta yg tak bisa dielakkan, bahwa hidup bukan sekedar bahagia dan tawa, namun juga tentang jatuh dan penolakan. Mungkin saat ini kita terlalu sibuk menghabiskan waktu dan energi pikiran untuk lari dari masalah, daripada menghadapinya dan berdamai dengan masalah itu sendiri.
Berfikir untuk tidak memikirkan merupakan bentuk pemikiran, memilih untuk tidak merespon merupakan bentuk respon, Anda lari dari masalah sekalipun merupakan bentuk menghadapi masalah, dalam artian tanpa anda sadari kita sungguh bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang dialami.
Namun semuanya tergantung nilai-nilai dan keyakinan apa yang dibentuk oleh pikiran dan persepsi semata, hingga semuanya sama saja sifatnya relatif.
Dengan konsep ini pada akhirnya kita akan mulai sadar terhadap setiap pengalaman dan nilai-nilai yang baru kita bangun, bahwa faktanya tidak semua hal harus menjadi periortas dan urusan kita, cukup bertanggung jawab terhadap setiap hal yang kita alami dan jalani.
Teringat seorang filsuf klasik yang bermazhab Filsafat Stoikisme/Stoa, yakni Epictetus, bahwa ia pernah berkata, "Some things are up to us, some things are not up to us" ada hal-hal di bawa kendali (tergantung pada kita), dan ada hal-hal yang tidak di bawa kendali (tidak tergantung pada kita).
Baca Juga: Kebenaran Ilusi
Banyak hal yg seharusnya bisa di abaikan lalu memprioritaskan yang lebih penting, sepantasnya kita mulai skeptis terhadap perasaan, pikiran yang tidak jelas. Masa bodo terhadap hal-hal yg tak penting sama sekali justru memberikan ruang untuk berfikir lebih jernih.
Penulis: Almutawallid
Editor: Nurham
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun