Matahariku Beranjak

CERPEN, SABDATA.ID – “Nayara!”

Nayara Clarissa Danurdara, itulah namaku. Ayah yang memberikan nama ayu itu. Memiliki makna perempuan pandai, kaya akan ilmu, dan selalu menjadi harapan bagi semua orang.

Ya, makna awalnya seperti itu, tapi saat ini namaku tak lagi bermakna demikian. Sebagai anak pertama, aku adalah orang yang menakzimkan bahwa pendar bintang tetap abadi di tengah gemerlapnya matahari yang sedang menari, walaupun sendiri. Orang yang percaya adanya kemungkinan setelah lengkaranya hal itu dan orang yang akan selalu berimajinasi di tengah gempuran halusinasi.

"Kau tidak sekolah hari ini sayang?" tanya seorang perempuan muda yang garis wajahnya tidak setegas dulu lagi dan menyukai warna gelap seperti hidupnya.

"Tidak, Ma. Hari ini ada acara kunjungan guru lain di sekolahku, jadi kami diliburkan untuk dua hari," jawabku sambil mengulek bawang merah beserta rempah lain yang aromanya khatam berkali-kali.

Ting tong...

Bunyi lonceng rumah sebelah yang terdengar cempreng dari rumahku. Namun tak lama menunggu, terdengar suara ketukan pintu.

Tok tok tok...

"Nayara tolong buka pintunya sayang?" pinta mama.
Iya, Ma. Tunggu, sahutku sambil berjalan menuju ke arah sumber suara.

Pintu dengan pola polkadot disertai cat abu-abu tua dan kusen berwarna putih merona itu berbunyi, pertanda ada yang bertandang ke rumah.

"Permisi? Apa benar ini rumah ibu Nadia?" tanya orang yang memakai jas hijau tersebut.
"Oh iya benar, Pak. Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ini, Nak, ada surat untuk ibu,” ucap laki-laki itu yang  ku taksir umurnya sekitar 45 tahun.

Setelah menutup pintu, aku bergegas menyusuri ruang tamu, berjalan ke arah perempuan tua yang kasih sayangnya tak lekang oleh masa. Matanya memercikkan binar kesenangan. Ia sedang memasak daging olahan yang baru dibelinya di mas Supri langganannya setiap hari.

"Ma, ini ada surat."

Surat berwarna cokelat dengan gradiasi hitam dan biru dongker. Ku tebak, surat itu mungkin saja tentang pertanyaan yang belum ada jawabnya, tentang kejadian yang belum pasti adanya, tentang perkara yang belum ada penyelesaiannya, tentang koma yang belum menjumpai titiknya, atau tentang nanti yang belum pasti.

Mama masih sibuk dengan aktivitas memasaknya, sedang aku sudah penasaran dengan isi surat tersebut. Akhirnya kuberanikan diri untuk membukanya perlahan.

Dear Nayara

"Papa sangat rindu padamu, Nak. Papa sangat menyesal, papa bingung. Maaf sudah membuat hati ibumu hancur."

Dengan cepat kututup kembali surat itu. Aku tak percaya diri lagi membacanya. Tubuhku dingin seketika. Suhu ruangan yang tadinya terasa hangat, tiba-tiba berubah menjadi beringsang. Dadaku sesak dan bibir bergetar. Perlahan mataku seperti hendak terbakar sebab menahan gerimis. Sialnya tak dapat ku bendung.

"Ah, jadi begini rasanya menahan sesak sendiri. Bagaimana dengan masyarakat yang tabu akan pengungkapan perasaan?" ucap batinku.

Lalu tekadku kembali menyala. Rasa penasaran membumi hanguskan semua ketakutan yang ada di dada, dan akhirnya mengalah. Kuputuskan untuk kembali membuka surat itu.

"Maafkan papa, Nak. Mungkin sekarang kau sudah berumur 18 tahun. Papa ingin sekali melihatmu, Nak. Merawatmu dan bercanda denganmu. Maaf karena papa baru mengabari kalian. Papa memang tidak pantas untuk dimaafkan setelah apa yang papa perbuat kepadamu, Nak."

"Maafkan papa telah meninggalkan kalian waktu itu. Papa memang dijodohkan dengan ibumu, tapi papa juga tidak bisa menahan perasaan cinta kepada sahabat papa."

"Dan akhirnya papa meninggalkan kalian bahkan tidak datang di saat kamu dilahirkan, Nak. Papa hanya berdoa di sini. Ya, papa ingin memberitahukan bahwa papa sudah menikah dengan sahabat papa itu dan sudah memiliki tiga orang anak. Papa harap kamu bisa terus bahagia tanpa papa. Jangan pernah lupa tersenyum, Nak... dan jaga ibumu."

Gamang ihwal rasa saat itu, seketika pikiran nelangsa nestapa, tak kusangka hati retak membacanya. Butiran bening yang sejak tadi ku tahan kini keluar begitu deras melimpah ruah. Seakan langit di atas sana ikut luluh melihat kesakitanku. Aku tak bisa lagi menahannya.

Mama yang kaget mendengarku terisak langsung menghampiri.

"Ada apa sayang?" tanya mama dengan sorot mata  penuh pertanyaan.

***

Sira tahu, setelah kejadian itu mama selalu tersenyum, membelai rambutku, mendekap erat, meski matanya menyembunyikan gurat kesedihan, dan ya, aku membencinya.

Sira tahu, sewaktu berumur enam tahun di bangku sekolah dasar, aku melukiskan wajahmu dan mama. Di atasnya ku tuliskan matahari dan bulan.

Sira tahu kenapa aku menuliskan matahari? Sebab matahari adalah bintang di pusat tata surya. Sebab matahari benda langit terbesar di galaksi Bima Sakti. Sebab matahari adalah sumber kehidupan manusia, simbol penting di banyak kebudayaan sepanjang peradaban manusia. Dan sebab matahari tak memiliki batas seperti planet lainnya.

Kini, matahari itu telah beranjak hilang, terseok, dan tersingkir angin, juga badai yang ia buat sendiri. Sungguh getir, pilu, pahit, dan pedih mayapada.



 






*Cat: Sira adalah pronomina klasik bermakna engkau, ia, beliau.
Penulis: Indah Rahmani Yahya 
Editor: Rika Arlianti DM

Posting Komentar

0 Komentar