Maut dan Janggut

CERPEN, SABDATA.ID – Langit menabur bintang-bintang. Rasa-rasanya udara sedikit gerah. Kala malam, berkeringat dan butir-butirnya menggelinding di sekujur tubuh para jamaah yang baru saja meninggalkan masjid.

Seusai salat isya, saya dijemput Ishakim, teman pelukis dari Kalegowa. Kami menuju sebuah warkop. Di sana, saya, Ishakim dan teman seniman lainnya akan minum kopi sambil berbincang tentang luka-luka berkesenian.

Saya memilih digonceng motor daripada menyetir mobil sendiri di jalanan yang padat oleh Gurita maut. Makassar sudah sempurna menjadi kota yang macet.


Seperti malam ini, nyaris semua doa keselamatan saya lontarkan 
dari hati yang miris. Kendaraan roda dua yang saya tumpangi, melompat-lompat bagaikan belalang di antara deru garang mesin, mencari celah untuk melambung.

Ishakim, merasa merdeka memainkan gas motornya ibarat mengaduk-aduk cat di medan kanvas. Berulang kali saya mencengkeram gumpalan lemak di perutnya, namun ia tetap kebal dan terus memacu bebeknya seakan driver ojek mengejar setoran.

Sesaat saya merasa sesak nafas. Kendaraan tiba-tiba berhenti di antara apitan truk dan mobil tangki. Dengus mesin dan bau solar membuat saya lunglai.

Saya: Kenapa berhenti, Meneer? (Ishakim sering dipanggil meneer karena kulitnya mirip Westerling, Komandan Belanda berdarah dingin).

Ishakim: Pusing, bagaimana bisa lolos dari roda-roda maut ini.

Saya: Jangan bercanda, Is!

Ishakim: Siapa yang bercanda? Maut saja serius (Satu tarikan gigi perseneling membuat dada saya terhempas di punggung Ishakim).

Saya: Pelan-pelan!

Ishakim: Ini sudah pelan-pelan.

Saya: Atau saya tarik janggutmu sekarang?

Ishakim: Ya, ya, ok. Ini sudah sangat pelan. Sangat pelan-pelan.

Malam merapat di ubun-ubun. Dinginnya mengecup detak jantung yang panas. Di balik bahu Ishakim, saya tersenyum.  Rupanya ancaman bagi janggut membuat dia ciut bermain-main dengan maut. ***

-Makassar, Juli 2022-





Penulis: Mahrus Andis

Editor: Amasa

Posting Komentar

0 Komentar