Spiritualitas-Fungsi Sosial Cinta Perempuan dalam Perwajahan Politik (4)

OPINI, SABDATA.ID – Sementara hidup adalah sebuah perjalanan untuk ikut andil dalam membentuk sejarah dan membuatnya menjadi mulia atau tidak, membuatnya bernilai atau tidak, perjalanan sejarah seseorang akan menentukan sendiri bagaimana dirinya apakah akan menjadi mulia atau tidak dan bernilai atau tidak.

Perempuan maupun laki-laki tidaklah memiliki hubungan niscaya dengan rumah dan dapur. Namun perempuan yang memilih berperan di dapur dengan kesadaran kerelaan atas dasar cinta bukanlah sebuah hegemoni, melainkan keikhlasan dan Budi pekerti. dan tidak ada yang melarang laki-laki untuk ikut mengisi ruang dapur.

Hal ini bisa kita lihat dalam rumah cinta Fatimah yang dengan kesadarannya memilih berperan di dapur dan hal-hal yang berkaitan dalam rumah, posisi Fatimah Zahra adalah sebagai kepala rumah. sementara imam Ali, bertugas untuk mencari kayu bakar, membawa air, dan mencari nafkah. Lihatlah bagaimana dua manusia suci yang berada dalam bimbingan akal kenabian ini melakukan pembagian peran yang sangat  kosmik.

Kita menyaksikan, secara ilmiah maupun rasional pembagian peran ini melahirkan keteraturan dan keharmonisan kehidupan.

Perempuan mulia dengan dapur dan cintanya

Dalam penjelasan ini, kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa secara pengetahuan dari sudut pandang fitrah, rumah dan perempuan sama sekali bukan ukuran kehinaan, malah justru kita melihatnya sebagai sebuah kemuliaan.

Namun, bukan berarti ruang bagi perempuan dalam memasuki arena perpolitikan atau yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah tertutup, tidak sama sekali. Akan tetapi bukan berarti kita menerima perempuan sebagai figur politik tanpa didasari dengan pertimbangan pengetahuan dan keadilan seperti halnya laki-laki.
Sekarang marilah kita mencoba melihat perempuan dari sudut pandang politik, dengan pertimbangan pengetahuan dan keadilan. Kenapa harus pertimbangan keadilan? Karena berbicara politik bukan hanya berbicara soal individu melainkan berbicara soal dua individu atau masyarakat banyak (sosial).

Setelah kita membahas masalah esensial perempuan, kita akan mencoba menariknya dalam melihat fenomena sosial dan melihat cara baca asumsi yang telah disiasati oleh undang-undang dengan dalih untuk menciptakan kesetaraan gender.

Kita akan mencoba menganalisa mengenai semangatnya dalam menciptakan keadilan bagi perempuan dan  relevansinya dengan usaha dalam mewujudkan tujuan negara (seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa tentu negara bertujuan untuk menciptakan  keadilan, kesejahteraan, atau lebih umumnya mewujudkan kondisi yang mampu mengantarkan masyarakat menuju kepada kebahagiaan).
Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah kebijakan yang telah telah dikukuhkan dalam bentuk undang-undang memang sudah tepat untuk mecapai keadilan bagi perempuan dan apakah dengan itu mampu mengantarkan suatu negara menuju tujuannya? Tentu itu haruslah dilihat pada sisi relevansinya dengan efek atau konsekuensi yang akan ditimbulkan terhadap tujuan negara dari kebijakan itu.

Namun sebelum itu kita harus terlebih dahulu membahas bagaimana sistem dan konsekuensi nyata yang telah ditimbulkannya.

Fakta bahwa jumlah perempuan yang menduduki bangku parlemen lebih sedikit dibanding dengan laki-laki, ini merupakan sebuah masalah yang fundamental bagi terciptanya sebuah kondisi keadilan perempuan sebab peran perempuan atau keterwakilan perempuan memiliki dampak bagi nasib perempuan baik dari sisi ekonomi, pendidikan maupun politik.

Suatu hal bahwa menaruh perhatian pada masyarakat perempuan memang perlu dan memang adalah alami bahwa yang lebih mumpuni dalam menaruh perhatian  dan yang lebih memahami kebagaimanaan perempuan adalah sejenis-nya sendiri karena adanya beberapa persamaan pengalaman dan kondisi. Oleh karena itu sebuah kondisi dimana perempuan haruslah berperan aktif dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan harus terkondisikan untuk aktual.
Berangkat dari masalah ini sehingga dibuatlah undang-undang yang diasumsikan mampu mewujudkan cita-cita itu.  Hal ini bisa kita lihat pada undang-undang No. 12 Tahun 2003 bahwa partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Kemudian peraturan undang-undang semakin disempurnakan dengan penetapan UU No.2 Tahun 2008 yang mengharuskan partai politik untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.

Selanjutnya UU No.10 Tahun 2008 lebih menegaskan bahwa partai politik dikatakan dapat mengikuti Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.


Kemudian penerapan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan, Penerapan sistem ini tercantum dalam Pasal 55 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008.

Dengan adanya peraturan perundang-undangan tersebut, diasumsikan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen pun semakin meningkat. Pada pemilu 2004 jumlah perempuan yang terpilih di DPR mencapai 11,8%, di DPD 18% dan di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mencapai 10%.

Kemudian pada pemilu 2009 jumlah ini semakin bertambah jumlah perempuan yang terpilih di DPR mencapai 18%, di DPD 27% dan di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mencapai 15%. pada pemilu 2014 mengalami penurunan dimana jumlah perempuan di DPR hanya 17% dari 560 anggota. Dan pada pemilu 2019 mengalami peningkatan 20,5%. Meskipun terjadi peningkatan namun masih belum mencapai target yaitu minimal 30%.






Penulis: Muh. Yusril
Editor: Darhan Sutradi Hukpar

Posting Komentar

0 Komentar