Hikmah di Tanah Haram

Cerpen, "Hikmah di Tanah Haram" oleh: Mahrus Andis

*diangkat dari kisah nyata... 

Haadzaa The Bus, Follow It!

CERBUNG, SABDATA.ID – Pertama kali mengunjungi Masjidil Haram, saya dan istri terpisah dari rombongan. Setelah tawaf "Penghormatan" atas kesucian Baitullah, saya mengajak istri dan teman-teman mencari makanan di sekitar Masjidil Haram.

Kami pun menyeberangi jalan raya melewati istana raja yang tidak jauh dari museum, bekas rumah Abdul Muthalib, kakek Rasulullah saw.

Pada saat menyeberang ke toko itulah, saya dan istri kehilangan teman jamaah. Saya sudah berupaya mencari mereka di sekitar toko dan kios-kios penjual makanan, namun sia-sia. Akhirnya saya putuskan kembali ke jalan raya tanpa membeli makanan.

Subhanallah, sungguh Allah Mahasuci dari segala kekhilafan. Entah dorongan siapa, tiba-tiba saja saya menyetop sebuah taksi kemudian menarik tangan istri saya untuk segera masuk. Istri saya terkejut.

Sementara taksi yang dikemudikan seorang lelaki tampan dan bertubuh tidak terlalu besar di balik jubah putihnya itu menancap gas meluncur di atas aspal yang licin.

"Ila aena tazhab?" (Anda mau kemana?). Kalimat supir itu sempat menyadarkan saya.
"Ila Asisiyah, hotel jamiatul Indunisiya," jawab saya dengan bahasa Arab yang pontang-panting.

"Aina Asisiyah?"(di bagian mana Asisiyah?) tanyanya lagi sambil meminta nomor telepon hotel saya. Celaka, saya dan istri tidak mencatat nomor tempat kami menginap. Saya sodorkan gelang yang bertuliskan alamat maktab, rupanya lelaki itu tidak mendapat informasi yang lengkap dari gelang tersebut.

Saya mulai bingung mau berbuat apa. Istri saya mendesak agar saya segera meminta taksi untuk berhenti. Namun, boleh jadi ini ujian berat dari Allah SWT buat kami. Supir semakin memacu taksinya.

Kami tidak tahu, sedang berada di mana. Yang sempat terbayang di pikiran, bahwa jalanan yang kami lewati adalah wilayah perkampungan Arab yang dihuni oleh penduduk asli suku Badui.

"Aina hotel Indunisiya?", supir itu kembali bertanya. Merasa tidak nyambung dengan bahasa Arab, saya mencoba menjawabnya dengan bahasa Inggris alakadarnya; "Near the Asisiyah bus station".

Kebetulan istri saya mengingatkan bahwa hotel kami berada dekat stasiun bus di wilayah Asisiyah. Tapi jawaban saya itu pun sia-sia. Si supir hanya menggelengkan kepala. Mungkin ia tidak paham bahasa Inggris saya atau bahasa Inggris saya yang membuat dia tidak paham?

"Ya, Ilahi Rabbii Anta  Maqshuudii  Waridhaaka Mathluubii, Aatinii Mahabbataka Wa Ma'rifataka, yaa Allah," bisik hati saya memohon pertolongan Allah SWT.

Di saat istri saya hampir menangis, dan saya menyerahkan totalitas diri kepada Zatullah yang Mahaagung, tiba-tiba sebuah bus melintas di hadapan kami. Bus itu adalah kendaraan yang disiapkan untuk jamaah haji Indonesia dan setiap saat mangkal di stasiun bus di depan hotel kami.

Melihat itu, saya dan istri kompak berteriak gembira sambil menunjuk ke bus yang melaju kencang itu; "Haadzaa the bus, follow it! (itu busnya, ikuti saja!)," teriak saya berbahasa Arab dan Inggris, dalam adonan patah-patah.

Si supir segera menambah injakan gasnya, mengekor di belakang bus. Beberapa menit kemudian, bus dan taksi pun berhenti di stasiun, tepat di depan hotel kami. Istri saya tampak mulai tersenyum, meski dibingkai wajah  tegang dan pucat.


*** (Cek Bagian 2)


Makassar (8/7/2022)



Penulis: Mahrus Andis
Editor: Amasa



Posting Komentar

0 Komentar