Cerpen, "Rin, Belikan Aku Jilbab" oleh: Mahrus Andis


CERPEN, SABDATA.ID – Dalia mendesah. Matanya sibuk menerawang langit-langit kamar. Pertemuannya dengan Sabirin sore tadi membuat dia gelisah. Aneh laki-laki itu, permintaannya melampaui batas.

“Apakah cinta harus dibuktikan dengan ciuman? Huh dikiranya pemuda baik-baik, ternyata binatang jalang,” umpat Dalia dalam hati.

Kala sore tadi, Dalia bersama Sabirin di Pantai Losari. Sekadar jalan-jalan menikmati hawa senja. Di bawah miniatur Tongkonan, rumah Toraja, Sabirin mengajaknya duduk sambil berbincang dan menikmati kuliner khas Makassar, Pallubutung. Kegelisahannya pun bermula dari situ.

“Lia, benarkah engkau mencintaiku?" tanya Sabirin sambil menatap bibir Dalia yang ranum. Dalia tersedak. Rambut panjang hingga ke bahu dibiarkan tergerai menutupi wajahnya. Mangkuk kecil berisi sepotong pisang dalam kuah tepung diletakkan di sampingnya. Dia tampak kikuk mendapat pertanyaan seperti itu.

“Dalia, jika benar engkau mencintai aku, buktikan sekarang juga." Kalimat itu bagaikan anak panah meluncur dan tertancap tepat  di pusat jantung.

Angin laut mendesir dari pulau Lae-lae, terasa perih ke dalam hati Dalia. Sejenak napasnya menggemuruh. Dia mulai meraba ke arah mana maksud ucapan lelaki yang baru saja dikenalnya itu.

Awal mula Dalia bertemu Sabirin di kawasan pasar Kalimbu. Sebenarnya nama aslinya bukan Sabirin, tapi Is Nada. Seorang pelukis keturunan Bule yang lahir di Barombong. Butta Lembang adalah sebuah perkampungan nelayan di pesisir Gowa, dan oleh teman-teman Sabirin, kampung itu sering disingkat Bule. Is Nada menggunakan nama Sabirin di kanvas lukisan sebagai samaran atas karya-karyanya.

Sebulan yang lalu, Dalia mampir di pasar Kalimbu dan sempat berkunjung ke stand pameran lukisan. Di situlah Dalia dan Sabirin berkenalan, saling menjajaki latar belakang hidup masing-masing. Hingga keduanya sepakat menikmati keindahan senja di Pantai Losari.

Sabirin tidak habis pikir. Bagaimana bisa laki-laki yang baru dikenalnya bisa selancang itu? Meminta pembuktian cinta dengan cara yang tidak bermoral.

“Demi ibuku, Lia, jangan menolak permintaanku." Kembali Dalia tersedak. Dadanya kian gemuruh. Dia benar-benar tidak bisa memahami maksud Sabirin.

“Demi ibunya? Apakah ibunya menyuruh dia menciumku untuk membuktikan cintaku? Kalau benar begitu, ibunya juga gila. Perempuan tua macam apa dia!” Dalia terus mengumpat dalam hati.

Perlahan ditatapnya wajah lelaki itu. Kedua bibirnya bergetar, namun tak sepatah pun kalimat yang sanggup ia ucapkan. Ada rasa jengkel menggeliat di hatinya. Betapa tidak, Sabirin yang dia kenal sebagai pemuda berhati lembut, seniman yang mampu mengelus hati setiap wanita lewat retorika cinta dan kasih sayang, tiba-tiba tampil sejorok itu.

“Atau mungkin Sabirin mengira kalau aku perempuan yang gampang dipereteli? Seharusnya Sabirin tahu bahwa aku ingin diajak ke Pantai Losari ini karena tidak tega membuat dirinya kecewa. Tapi kenapa Sabirin memanfaatkan kesempatan ini dengan permintaan yang tidak masuk akal? Gila dia,” pikir Dalia.

“Tatapanmu membuatku yakin, Dalia. Kaulah perempuan yang selama ini menjadi buah khayalku. Maukah engkau memenuhi permintaanku?" Sabirin mengulang ucapannya. Dalia tertunduk. Di benaknya terlintas pikiran untuk segera menghilang dari tempat itu. Namun sebelum dia lakukan, Sabirin sudah mengajaknya pulang.

“Baiklah. Mungkin di waktu lain kamu mau menerima permintaanku. Yuk, kita pulang," ajak Sabirin sambil memberi isyarat ke penjual Pallubutung untuk mendekat dan segera meninggalkan tempat itu.

Skuter setengah tua yang mereka tunggangi meluncur sedikit kencang. Lorong sempit jalan Kandea menuju rumah Dalia serasa gelap dan sunyi. Padahal biasanya lorong itu ramai oleh anak-anak dan orang tua yang menuju masjid. Permintaan Sabirin yang bukan-bukan itu membuat mata Dalia pekat dan kosong.

Turun dari skuter, Dalia hanya melambaikan tangan kemudian menghambur menerobos pintu rumahnya. Sabirin membalas lambaian Dalia. Sukmanya lemas rebah di ujung senja. Hening mulut lorong. Hati lelaki itu kosong.

Matahari mulai runduk di tepi langit. Menara masjid di samping rumah Dalia melantunkan selawat Nabi. Sebentar lagi azan Magrib berkumandang memenuhi lorong kecil jalan Kandea. Panggilan salat mencubit-cubit kelopak iman di hati penduduk yang sedang mabuk kesibukan dunia. Dalia menggeliat perlahan, bangkit menuju kamar mandi. Dia tiba-tiba ingin bersujud, menumpahkan rasa syukurnya kepada Tuhan. “Terima kasih, ya Allah. Engkau telah membebaskan aku dari perangkap cinta lelaki gombal," desis Dalia.

Baru saja melangkah ke pintu kamar mandi, handphone Dalia berdering di atas meja. Layarnya  berkedip, memunculkan nama Sabirin. Terbata-bata, Dalia meraih handphone itu. Ibarat terjadi teror, tangannya menggigil menyentuh sebuah kotak yang siap meledak dan memburaikan seluruh daging tubuhnya.

“Assalamualaikum, Lia," sapa Sabirin.
“Halo," jawab Dalia tanpa ruh.
“Kok, halo?" protes Sabirin.
“Salammu tak layak dijawab dengan salam," cetus Dalia. Nadanya cukup bengis di telinga lelaki itu.
"Kamu benar marah, ya?" geledah Sabirin.
"Sudahlah, aku mau salat!" Hampir saja Dalia menutup panggilan, namun tidak tega. Dia masih menaruh harapan kepada lelaki seniman yang terlanjur singgah di hatinya itu.
“Dengar dulu, Lia. Engkau belum paham maksudku," Sabirin meyakinkan.
“Cukup, Rin. Aku sudah lebih dari paham. Kamu lelaki jorok. Lelaki birahi yang pernah aku kenal. Tidak dapat dipercaya!” maki Dalia.
“Makanya kumohon engkau mendengarkan dulu, Lia. Maksud permintaanku ..."
“Cukup! Permintaanmu melebihi takaran. Apakah kamu menyangka aku ini perempuan murahan? Maaf, Rin. Aku memang tidak sama perempuan lain yang sering kamu temukan di mana-mana. Sejak dulu, diriku seperti ini. Terbiasa dengan kaos oblong, celana jeans, dan rambut terurai. Tapi kuminta, jangan menilai aku dari situ. Gaya hidupku masih tetap setia menampung moral dan pribadi beradab,” terang Dalia memotong ucapan Sabirin.
“Ingat, Rin, aku bukan paket sepuhan yang dibungkus permadani,” tambahnya lagi.
“Lia, dengar dulu. Kamu salah menilai aku. Boleh aku ke rumahmu? Aku ingin menjelaskan semuanya,” bujuk Sabirin.
“Tidak perlu. Jelaskan sekarang juga, aku mau salat!” tegas Dalia. Di balik gawai, terdengar napas berat Sabirin dan menghempas.
“Baik, Lia. Aku jujur padamu. Kemarin, ibuku datang dari Butta Lembang. Dia mendesak aku agar segera menemukan pasangan. Dia sudah tua dan ingin melihat aku berumah tangga," jelas Sabirin.
“Tapi mengapa permintaanmu jorok?" sambar Dalia.
"Jorok? Apanya yang jorok, Lia?"
“Kamu meminta aku membuktikan cinta dengan cara konyol seperti itu."
“Lia, ibuku ingin memiliki menantu yang berjilbab. Apakah itu jorok jika aku meminta engkau  membuktikan cinta dengan memakai jilbab?”

Gawai di tangan Dalia nyaris terjatuh. Jemarinya gemetar bagai sedang menggenggam es batu. Berulang kali Sabirin memanggil namanya, namun Dalia masih terdiam dan hanya berdiri seperti arca.

“Halo, halo, Lia! Kenapa diam? Kamu menolak menjadi istriku?” tanya Sabirin.

Dalia membeku. Rasa sesal beriak
Jiwanya mengutuk, entah siapa yang ragu.

Antara percaya dan tidak, ucapan Sabirin di balik gawai itu menggelegar bagai petir mengentak di gendang-gendang telinga Dalia. “Benarkah lelaki itu akan menyunting dirinya?” batinnya.

Ada rasa penyesalan. Dalia telah keliru menafsir permintaan Sabirin. Dia terlalu sensitif menanggapi permintaan lelaki pelukis itu. Dalia lupa bahwa kata-kata seorang seniman tidak boleh langsung dikantongi. Apalagi jika belum rampung kalimatnya. Itulah kodrat seniman.

Kata seorang ahli tasawuf, rasa cinta seniman tidak berbeda dari rasa bencinya. Ketika ia jatuh cinta kepada seseorang, maka hakikatnya ia telah berhasil membenci orang lain. Ya, sangat benci kepada siapa saja yang berani mengganggu cintanya. “Tapi ... ah, adakah Sabirin si Pelukis Bule itu demikian?” telisik Dalia. Diangkatnya kembali gawai miliknya.

“Maaf, Rin. Aku ceroboh menilai ucapanmu. Aku trauma dengan kalimat pembuktian cinta. Di pikiranku, itu selalu identik dengan ciuman," getar suara Lia sangat jelas di telinga Sabirin.
“Membuktikan cinta tidak harus dengan ciuman. Itu kuno. Aku ingin bukti cintamu lewat jilbab, Lia. Mau, kan?" tanya Sabirin setengah berbisik.
“Itu tidak berat, Rin," balas Dalia setengah berbisik pula.
“Jadi, kamu siap menjadi istriku?” desak Sabirin.
“Itu juga tidak sulit, Rin,” kunci Dalia.
“Terima kasih, Lia. Ibuku pasti senang bakal punya menantu berjilbab."
“Tapi, Rin. Benarkah engkau mencintai aku?” lirih suara Dalia.
“Kamu ragu, Lia?”
“Buktikan malam ini, Rin," rajuk Dalia.
“Maksudmu ... apa, Dalia?” Sabirin tergagap.
“Rin, belikan aku jilbab," bisik Dalia manja.
“Oh, itu tidak berat, Lia. Besok kita ke butik.”

Langit perlahan pekat. Dalia bergegas mengambil air wudu. Senyumnya merekah manis. "Besok, aku pakai jilbab," batinnya.

Dalia
membayangkan dirinya
duduk di boncengan Sabirin
dan mengizinkan
angin laut Pantai Losari
memainkan jilbabnya.

- Bulukumba, Juni 2022 -







Penulis: Mahrus Andis
Editor: Rika Arlianti DM

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Luar biasa pak Andi. Cerpen yg menarik dan terbilang Islami.

    BalasHapus

Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun