Part 2 Opini, "Menafsir Jati Diri, Iman dan Kebahagiaan" oleh: Yusril

ketidakstabilan jiwa.

(Note: Sambungan) 

2 . Karakter material dan hubungannya dengan fitrah

Dalam pembahasan fitrah sendiri, terdapat kecenderungan untuk menemukan kehakikian, kemutlakan, kestabilan, kesejatian, absolut, dan lain-lain istilah yang sepadan dengannya namun baik secara filsafat maupun secara saintifik.

Masing-masing menerima bahwa sesuatu yang material adalah sesuatu yang akan hancur, punah, hilang, atau berubah menjadi eksistensi lain. Ini menjelaskan tentang ketidakmutlakan eksistensi material padahal fitrah menginginkan kemutlakan berdasarkan hal ini kita membuka 2 kemungkinan:

pertama, yang diinginkan oleh fitrah sejatinya bukanlah pada hal-hal yang bersifat material. kedua, terdapat sesuatu yang bukan material yang sifatnya mutlak, stabil, hakiki, sejati, dan absolut. Ini bisa dibuktikan dengan contoh sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Secara subjektif tentu setiap diri kita merindukan kebahagiaan, kepuasan, dan ketenangan, lalu konstruksi pemikiran kita meletakkan kecenderungan-kecenderungan itu pada hal-hal yang material, padahal material akan mengalami kehancuran, tentu apa yang dituntut oleh diri kita akan mengalami problem subjektif bersamaan dengan hancurnya sandaran material itu, belum lagi ketika dimensi subyektifitas itu berdiri diatas landasan hasrat. 

Hasrat adalah dimensi yang sangat labil, ketika diri kita menghasrati kebahagiaan dan peletakannya ada pada material maka hasrat akan merasa terpuaskan setelah mencapai tujuannya namun akan mengalami kemunduran setelah itu sebab hasrat adalah sesuatu yang sangat labil sedangkan diri kita secara fitrah menginginkan kestabilan.

Hal ini membuka sebuah ruang dialektika baru tentang dimensi fitrah yang seharusnya tidaklah berdiri di atas hasrat sebab tidak selaras dengan watak fitrah sendiri, ini juga lebih menguatkan dalil bahwa fitrah haruslah berdiri di atas dimensi akal sebab hanya akal yang memiliki sifat kestabilan, sehingga dalam peletakan fitrah semestinya berada dalam keterhubungannya dengan akal.

Rasionalisme dan kesadaran.

Lalu, Apakah akal sebagai basis rasional bisa menjadi faktor utama dalam menjawab problem fitrah?

Tentu, sebab akal dengan segala variabelnya, kemampuan mengenal, mendikotomikan segala hal, mendalami, dan variabel-variabel lainnya akan sangat membantu bahkan bernilai sangat fundamental dalam menganalisis dan mengenali dan menilai dengan tepat dimana semestinya fitrah akan disandarkan. 
Namun bukan berarti akal secara mandiri mampu bekerja secara efektif tanpa dilandasi dengan basis kesadaran. misalnya; kesadaran akal tentang dirinya sendiri, kesadaran manusia tentang dirinya sebagai manusia, kesadaran pecinta sebagai diri yang mencintai, kesadaran beragama sebagai diri yang beragama dan lain-lain.

Memastikan kesadaran untuk tetap aktual dalam diri manjadi penting sebab akan menentukan stabilitas atas obyek yang disadari.

Seorang manusia harus memastikan dirinya menyadari dirinya sebagai manusia agar diri kemanusiaannya tetap berada dalam jalur yang tepat, seorang pecinta harus menyadari dirinya sebagai seorang yang mencintai sesuatu agar nilai-nilai cintanya terhadap sesuatu yang dicintainya tetap terjaga, seorang yang beragama harus menyadari dirinya sebagai orang yang beragama agar nilai-nilai keagamaannya tetap terjaga dan sebagainya. 

Begitupun akal harus menyadari dirinya sendiri agar dimensi-dimensi akal bisa terjaga dan terukur sebagaimana mestinya. Tentu akal bernilai sangat mendasar dalam bahasan fitrah namun akal juga mampu menciptakan sebuah konstruksi tentang dirinya yang justru sudah keluar dari asas-asas akal yang malah berdampak pada subjektivitas peletakan fitrah. 

Misalnya, dalam konteks ketuhanan kita; dimana akal seringkali melakukan demonstrasi dan somasi terhadap keseharian Tuhan untuk melakukan apa saja kehendaknya, manusia menjadi jaksa yang menuntut kemauan Tuhan agar disesuaikan dengan terbatasnya pemahaman logis kita.

Tuhan tidak boleh menghadirkan sesuatu sesuai dengan kemauannya, Tuhan dipaksa untuk membatasi diri-Nya bersesuaian dengan kapasitas logis manusia. Manusia melarang Tuhan untuk memanifestasikan gagasan-Nya, Tuhan diregulasi agar menyesuaikan diri terhadap kepentingan manusia, keputusan Tuhan untuk meletuskan gunung atau meluapkan air laut ke daratan disimpulkan sebagai bencana oleh manusia, manusia seringkali membantah ketika ada yang diinginkan namun menurut Tuhan itu tidak layak atau bukan untuk manusia miliki.
Apa gerangan itu kalau bukan fakta bahwa manusia punya ambisi untuk menjadi pusat semesta dan sumber segala kehendak? 

Ini menjadi sebuah contoh yang lazim dan baik untuk kita jadikan sebagai penjelasan untuk lebih menjawab problem fitrah yang sering kita temui dalam keseharian kita termasuk saya sendiri yang sejatinya lahir dari tidak terbukanya kita untuk menyadari kapasitas akal.

Potensi akal kerapkali berada dalam kendaraan hasrat karena asasnya adalah hasrat sehingga akal menciptakan konstruksi subjektif sehingga kadang berbenturan dengan apa yang diluar diri kita.

Terbenturnya konstruksi akal dengan yang diluar inilah yang memantik ketidakbahagiaan sehingga kita perlu mengembalikan akal pada bentuk yang seharusnya yaitu melihat sebagaimana adanya segala hal bukan dideterminasi oleh hasrat. Membuka kesadaran yang selebar-lebarnya terhadap segala hal termasuk akal.

Kebahagiaan dalam perjumpaan Iman 

Membuka kemungkinan Tuhan sebagai representasi dari kemutlakan, keabadian, keabsolutan, kehakikian, kesejatian dan istilah-istilah lain yang sepadan dengannya dalam filsafat Islam adalah hal yang rasional menurut penalaran akal dan Wahyu selaras dengan kecenderungan fitrah, menyandarkan kerinduan fitrah terhadap kebahagiaan, ketenangan dengan nilai-nilai hakiki lainnya kepada eksistensi Tuhan.

Dalam filsafat Islam adalah (terdapat) pertemuan antara 3 kerangka: akal, wahyu, dan fitrah yang bertemu dalam sebuah capaian keimanan akan eksistensi Tuhan sebagai sandaran hidup yang sesungguhnya. 

Sebagaimana yang katakan oleh Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i:

"Iman adalah jaminan yang paling kuat dan kokoh dalam menghadapi ketakutan dan kekecewaan dalam pasang surutnya kehidupan. Orang-orang yang beriman tidak akan pernah berputus asa atau kehilangan kepercayaan diri dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun, sebab mereka tahu bahwa diri mereka terikat dengan kekuatan dan kekuasaan yang tak terbatas dari sang pencipta alam semesta. Mereka selalu ingat kepada-Nya dan dilindungi oleh-Nya dalam semua keadaan. Hati mereka tenang, jernih, dan kuat." 

Hati adalah dimensi emosionalitas, kekuatan, harapan, keinginan, kesedihan, tawa, derita, kebahagiaan. Iman bertempat pada hati. Hati adalah pusat, kekuatan hati akan berdampak pada perbuatan (praktis).

Hati yang beriman kepada Tuhan akan mengetahui kepada siapa dia bersandar dan kepada siapa dia mengembalikan segala sesuatu. Hati yang beriman akan mengetahui kepada siapa dia akan meletakkan harapan-harapannya.

Fitrah yang berjalan diatas jalan yang lurus, berada dalam asas yang sebagaimana mestinya, yang menjawab segala kerinduan, adalah fitrah yang dipertemukan oleh 3 kerangka: akal, wahyu, dan fitrah yang akan sampai pada satu titik perjumpaan yaitu Iman.

Problem diri yang bertentangan dengan kerinduan fitrah yaitu ketidakbahagiaan dan derita adalah ketidakberadaan iman dan tidak sadar dengan kadar dirinya.







Penulis: Yusril (Mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Posting Komentar

0 Komentar