Menafsir Jati Diri, Iman dan Kebahagiaan

Opini, "Menafsir Jati Diri, Iman dan Kebahagiaan" oleh: Yusril
OPINI, SABDATA.ID – Dalam menjalani kehidupan, manusia sebagai subyek yang sadar dan berintelaktual, pencipta, perasa, pengharap, dan entitas kesadaran lain yang terkandung dalam dirinya mengalami berbagai dinamika pasang surut.

Dialektika subjektif kesadaran yang pada akibatnya mengaktualkan dalam bentuk yang material sebagai wujud yang tampak secara fisik yang terlahir dari wujud yang tak tampak. Artinya, apa yang ada pada jiwa subyek akan tampak atau mewujud secara fisik.

Dalam rentang gerak waktu perjalanan kehidupan manusia, kegelisahan-kegelisahan eksistensial kerapkali muncul atau bahkan sebagian besar umur pada sebagian manusia dipenuhi dengan perasaan kekosongan makna, ketidaktahuan arah, ketidakjelasan kehidupan dan ditambah dengan masalah-masalah pribadi yang kerapkali mengakibatkan tekanan psikologis bahkan banyak yang depresi, gila, atau bahkan bunuh diri akibat dari dialektika konflik internal yang tidak mampu teratasi. 

Konstruksi berfikir dari luar misalnya hitam itu buruk dan putih itu baik dan sebaliknya, gendut itu buruk dan kurus itu indah dan sebaliknya, yang semuanya banyak dalam masyarakat kita menjadikan itu sebagai nilai fundamen dan esensial dalam kehidupan dan banyak karenanya yang mengalami kejenuhan, insecure, dan persoalan-persoalan psikologis lainnya karena konstruksi berfikir ini.

Lalu apakah ini objektif? Apa asas sehingga penilaian tersebut dengan begitu mudah di internalisasi kedalam diri kita? Siapa yang menciptakan pemaknaan-pemaknaan tersebut? Apakah sudah selaras dengan sebagaimana adanya dalam hubungannya dengan diri yang hakiki?

Berangkat dari persoalan ilmiah kehidupan tersebut kita ingin melihat secara pengetahuan kenapa hal demikian bisa terjadi pada manusia? Apakah sudah tepat nalarnya? Kalau tidak, lantas nalar apa yang tepat? Tentu ini bukan sebuah kebenaran yang harus dinilai sangat objektif melainkan hanyalah sebuah ikhtiar kecil dalam memaknai salah satu serpihan kecil dari maha besar tema kehidupan.

Dilema manusia terhadap harapan-harapan atau standarisasi nilai yang diciptakan oleh akal dan hasrat manusia yang tidak menemukan keselarasan terhadap fakta diluar dirinya sebagai suatu sandaran material terhadap harapan-harapan yang dibangun menjadi pemantik hadirnya ketidakstabilan jiwa.

Ketidakstabilan jiwa ini kadangkala dalam bentuk depresi, gila, mudah emosi, berhalusinasi, panjangnya angan-angan bahkan paling ektrim bunuh diri sebagai akibatnya.

Apa penyebab utama kenapa ketidakstabilan jiwa tersebut muncul? Menurut saya hal demikian disebabkan oleh 2 hal:

  1. Jati diri yang otentik belum dikenali
  2. Menyandarkan kebahagiaan hanya pada eksistensi material.

Poin yang ke-2 sebetulnya adalah hal yang sekunder dari poin pertama, namun untuk lebih mudah memahami sehingga saya anggap perlu untuk menjadikannya tema tersendiri meskipun tidak bisa dipisahkan.
 
1. Jati diri

Pertanyaan tentang hakikat diri? Mengapa kita diciptakan? Akan kemana? Akan melahirkan sebuah pembahasan mengenai kadar diri, apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, apa kebutuhannya (tubuh maupun rohani), larangan dan perintah, apa yang wajib dan Sunnah bagi ukuran dirinya dan lain-lain.

Pengenalan tentang kadar diri merupakan sebuah hal yang wajib bagi ukuran manusia, dikatakan wajib sebab tidak mengikhtiari-nya akan menimbulkan ketidakseimbangan eksistensi. Hal tersebut terjadi sebab secara fitrah manusia adalah makhluk yang berpengetahuan dan watak dasar pengetahuan adalah menemukan kepastian. 

Mencari dan menemukan kepastian adalah suatu hal yang sangat mendasar dan merupakan kebutuhan primer oleh manusia. Manakala manusia keluar dari prinsip ini maka sebagai akibatnya akan memunculkan ketidakseimbangan eksistensi, manusia akan gelisah, susah tidur, tidak mau makan, depresi, sakit, pusing dan lain-lain.

Inilah dasar kenapa dikatakan wajib. Wajib merupakan representasi dari keharusan dan kemestian yang akan berdampak buruk ketika hal demikian tidak dilakukan.

Memahami kadar diri akan mengantarkan kita pada sebuah pemahaman tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang merupakan sebuah proses penyelarasan kondisi objektif diri dengan kondisi objektif diluar diri. 

Tendensi atau membangun ekspektasi (standar) sedangkan bangunan-bangunan konsepsi itu tidak selaras dengan kondisi diluar yang pada akibatnya memunculkan ketidakpuasan, dilema, kejenuhan, kegelisahan dan lain-lain serta membuka kemungkinan bahwa masalahnya bukanlah diluar diri melainkan di dalam diri itu sendiri.
Sebab mungkin saja realitas objektif material diluar dirinya tidak memenuhi syarat untuk memuaskan eksistensi fitrah dalam dirinya dan mungkin pula bangunan pengetahuan yang dibangun tidak sebagaimana dengan fitrah yang sebagai akibatnya terjadi kontradiksi nilai antara fitrah dengan obyek peletakan fitrah.

Manusia bertindak titik berangkatnya selalu berada pada landasan fitrah. Fitrah sendiri terbagi menjadi dua jenis:

  1. Fitrah biologis (makan, hasrat, tumbuh, seksualitas, dll) dan
  2.  Fitrah mental (berpengetahuan, estetika, tanggung jawab, mencipta/karya, menghamba, ingin mendapatkan kebahagiaan, dll).

 
Fitrah ingin mengetahui dengan prinsip menemukan kebenaran berada pada posisi yang paling mendasar sebab dia menaungi beberapa fitrah yang lain agar ditempatkan pada tempat yang seharusnya. 

Fitrah yang ingin menemukan tujuannya berprinsip bahwa fitrah sebagai suatu jalan bukan tujuan. kebahagiaan, kepastian dan kelegahan eksistensi akan hadir manakala fitrah sampai kepada Tujuan.

Pengetahuan yang telah dikonstruksi Tanpa melakukan verifikasi tentang fitrah sebagai landasan awal dan pijakan untuk menemukan apa yang seharusnya di inginkan dan dituntut oleh diri manusia, berpotensi terjadinya kontradiksi antara apa yang seharusnya dan apa yang dilakukan sehingga menimbulkan ketidakstabilan jiwa.








Penulis: Yusril (Mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Posting Komentar

0 Komentar