Opini, "Marginalisasi Kesejahteraan Buruh" Oleh: Sri Nurfadillah Asnawi

Opini, "Marginalisasi Kesejahteraan Buruh" Oleh: Sri Nurfadillah Asnawi 
Masyarakat sesungguhnya bukanlah kelompok manusia tanpa perubahan, masyarakat selalu tumbuh dan berkembang serta mengalami berbagai pergeseran khususnya di bidang ekonomi.

Di zaman pra reformasi pekerjaan dominan adalah pertanian, sekarang sebagian besar masyarakat sudah banyak bekerja di sektor jasa atau menjadi buruh pabrik.
Namun ironinya, pergeseran ini tampak tidak begitu disambut hangat pemerintah, karena pertengahan November lalu kita sempat dihebohkan pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Kemenaker) Ida Fauziyah, yang santai dan lugas mengatakan upah minimum di Indonesia terlalu tinggi. 

Hal tersebut karena menurutnya produktivitas pekerja di Indonesia tidak sesuai dengan besaran upah yang diberikan, dengan kata lain kapabilitas dan skill pekerja di Indonesia sangat dipandang rendah.

Hal tersebut juga diperjelas dengan keputusan Kemenaker dalam menetapkan UMP dan UMK tahun 2022 seperti yang dikutip penulis dari kontan.co.id pada selasa, 07 Desember 2021 bahwa kenaikan final UMP dan UMK tahun 2022 sangat kecil, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat kenaikan rata-rata UMP hanya sebesar 1,09%.

Penulis memandang hal ini sebagai sesuatu yang diskriminatif sekaligus mengejawantahkan tradisi kapitalisme dimana kaum buruh selalu dilekatkan sebagai kelas proletar, apalagi hal ini dapat dilihat jelas pada Omnibus Law atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DRP RI.

Katanya untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dengan cara mengurangi syarat izin usaha dan pembebasan lahan. Namun bukankah hal ini justru merugikan hak-hak pekerja serta mengurangi perlindungan lingkungan. 

Pemerintah yang gencar meningkatkan perekonomian dengan jalan investasi malah merugikan masyarakat sebagai buruh dan lingkungan itu sendiri. UU ini jelas cacat dan timpang maka dari itu rangkaian unjuk rasa dan protes penolakan masih terus berlangsung.

Isu ketidakadilan terhadap kaum buruh memang tidak pernah pupus menjadi perbincangan dan sentral kajian karena hal tersebut bukanlah isu baru, bahkan di masa gencarnya pemikir ekonomi menciptakan sistem-sistem perekonomian, seorang filsuf bernama Karl Heinrich Marx, akrab dikenal Marx muncul dengan gagasan tegasnya menolak eksploitasi buruh atau sistem kapitalisme pada masa itu.

Hingga saat ini meskipun tidak ada negara di dunia menyatakan dengan terang-terangan bahwa mereka menganut sistem kapitalisme, namun praktik kapitalisme selalu menjadi dominan di dalam tatanan negara.

Salah satu konsekuensi dari penerapan sistem perekonomian kapitalistik adalah terbukanya akses persaingan bebas antar pemilik modal. Jadi untuk memenangkan persaingan, cara paling mudah dilakukan oleh para pemilik modal adalah memproduksi barang dengan harga yang lebih murah. Namun, efek dari kebijakan tersebut berdampak pada pengurangan upah buruh.

Menurut Marx, seluruh keuntungan dimiliki oleh kapitalis diperoleh dari hasil kerja buruh yang tidak dibayarkan. Dengan modal atau keuntungan yang dimiliki nantinya digunakan untuk memperluas pasar dan akan menghasilkan kapital yang lebih besar.

Pola ini akan berjalan terus-menerus. Hal tersebut menurut Marx menyebabkan bertambahnya tingkat kesengsaraan dan marginalisasi pada kaum buruh. Bertambahnya kesengsaraan secara absolut menunjukkan pendapatan dari masyarakat secara global menurun dalam sistem kapitalis juga menunjukkan bahwa bagian pendapatan nasional mereka menjadi turun di kemudian hari.

Hingga pada akhirnya Marx berasumsi secara konsisten bahwa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kesengsaraan dan marginalisasi buruh yakni dengan lebih memperhatikan pada kualitas hidup mereka.

Bagaimanapun arah politik dari sosialisme marx yang banyak ditolak, pemikirannya patut untuk diapresiasi. Pemikirannya masih relevan hingga sekarang, serta masih banyak elemen masyarakat yang meyakininya sebagai alternatif lain dari kapitalisme yang jauh dari asas keadilan dan kesamaan.

Kembali pada kondisi Indonesia, beberapa poin paling merugikan bagi pekerja di dalam Omnibus law dapat dilihat pada pasal 81 angka 15 tentang penetapan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dinilai merugikan buruh karena mereka tidak memiliki kejelasan tentang kontrak kerja, otomatis hal ini membuat pengusaha dapat semena-mena menentukan kontrak.

Selain itu hal seperti waktu kerja atau jam lembur juga ikut dieksploitasi, hak cuti dan istirahat berkurang dan pekerja rentan alami PHK.


Bagaimana mungkin negara mencapai salah satu ideologinya pada sila ke-5 Pancasila jika keadilan hanya memihak pada pengusaha. Sedangkan dilansir pada www.bisnisnews.id pada februari 2021 jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 139,81 juta orang dari 273,5 juta penduduk.


Melihat dari angka tersebut seharusnya pemerintah lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan buruh karena perekonomian yang besar berawal dari aktivitas ekonomi yang kecil. Hal-hal seperti pelatihan kerja, perluasan kesempatan dan lapangan kerja, serta kebijakan perlindungan hak-hak pekerja harus menjadi pusat perhatian lebih pemerintah.
Pemerintah yang mengeluarkan undang-undang tidak boleh timpang, saat pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk UU yang mengikat, pengusaha atau masyarakat borjuasi juga tidak akan bisa semena-mena menginjak hak pekerja.


Referensi
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
https://www.kompasiana.com/ade_henry/54ffc0f4a33311576350fd38/karl-marx-dengan-segala-pemikirannya





Penulis: Sri Nurfadillah Asnawi
(Mahasiswa Ilmu Ekonomi, UINAM/90300118034)
Editor: Amasa

Posting Komentar

0 Komentar