Cerpen, "Jeruk" Oleh: Rika Arlianti DM

Cerpen, "Jeruk" Oleh: Rika Arlianti DM
Harusnya aku mengabaikanmu setelah pertemuan pertama kita di kampus. Tidak memberi sedikit kesempatan agar kamu gagal menaruh harapan. Tapi harus bagaimana lagi, kamu butuh bantuan hari itu. Aku membantumu sebagai teman. Namun kamu pikir, aku memberi lampu hijau untuk menaruh rasa lebih dari pertemanan.

Sejak hari itu kamu menghabiskan waktu dengan mengekoriku. Tidak peduli panas, hujan, mendung. Di dunia nyata atau pun maya, kamu menikmatinya. Tapi sungguh, aku tidak punya rasa apa-apa selain rasa pertemanan kepadamu, hanya itu. Sekuat tenaga aku meyakinkan hati, mengintrogasi hingga introspeksi. Jawabannya tetap sama ... pertemanan.

Sulit rasanya menjadi diriku sekarang ini. Menganggapmu tidak ada meski kamu selalu ada bersamaku. Baiklah, perlahan aku berusaha menyadari hadirmu meski sebenarnya aku tertekan. Ingin rasanya aku mengusirmu sejauh mungkin, tapi aku tidak se-tega itu.

Semakin hari kamu semakin berani dan sepertinya harapanmu kepadaku semakin bertumpuk dan berat. Kadang-kadang aku menyadarinya dan merasa kasihan kepadamu karena jauh di lubuk hati, kamu tidak ada di sana. Bahkan untuk sekadar memikirkanmu saja, otakku merasa lelah dan bosan. Kamu tidak memiliki ruang sedikitpun, Iwan. Terlebih di dalam hatiku.

Aku masih ingat, hari ketika kita ditakdirkan berdua. Ini kali pertama kita jalan berdua, Iwan. Tidak, sebenarnya ini bukan agenda ‘jalan’ yang kalian pikirkan. Aku dan Iwan hanya tertimpa nasib sial, tersesat sebab tertinggal jauh dari rombongan teman-teman kampus. Aku tidak tahu, apakah kamu benar-benar tidak tahu jalan atau sengaja salah arah. Itu kali pertama aku dan kamu jalan berdua, Iwan. Melelahkan. Sepanjang jalan kamu tersenyum. Aku penasaran, seberapa keringnya gigimu karena tertiup angin cukup lama.

Setelah kejadian itu, kamu berani berkunjung ke rumahku. Aku akui, kamu pendiam yang berisik. Denganku kamu diam, tapi di hadapan ayahku kamu benar-benar berisik yang tidak tanggung-tanggung. Semalam suntuk aku mendengarmu berbicara banyak kata, dan tentu saja bersama ayah. Aku semakin iba terhadapmu, Iwan.

Di kantin kampus, tidak sengaja aku bertemu dengan seseorang yang sangat kucintai. Tentu saja yang kumaksud bukan kamu, Iwan. Tapi, Imam. Orang yang telah mencuri dan membawa pergi hatiku satu-satunya. Dari kejauhan kamu menatapku sinis dengan wajah memerah. Aku tidak punya pilihan lain, Iwan. Aku mencintai Imam, dan sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan karena aku bertemu dengannya di kantin kampus yang luas ini.

Lalu, kamu mendekat dan berbaur dalam pembicaraan kami setelah berhasil meredam amarahmu yang masih menggebu-gebu. Dari sana aku tahu, kalau kamu dan Imam sudah saling kenal bahkan sebelum kalian berdua mengenalku.

Setelah Imam pamit karena masih ada kelas, aku berbalik menatapmu, Iwan. Ini pertanyaan pertama yang aku ajukan kepadamu, sebab aku tidak pernah peduli dan tidak ingin tahu apa pun tentang kamu, Iwan. Tapi, kali ini aku harus bertanya.

“Kenapa tidak pernah bilang kalau kamu kenal Imam?”

“Apa untungnya? Lagipula kamu tidak pernah bertanya apa pun tentangku,” jawabnya. “Juga kami bukan sekadar teman, tapi sahabat sejak kecil. Di kampung kami bertetangga,” lanjutnya.

Seandainya aku tahu dari awal, aku tidak akan meladenimu, Iwan. Aku benar-benar akan menyakitimu, kalau suatu nanti kamu tahu perasaanku kepada Imam sebesar dan sedalam apa. Aku minta maaf.

Empat bulan lebih, kamu melakukan rutinitas bersamaku, Iwan. Apa kamu tidak lelah? Kuliahmu apa kabar? Tugas-tugasmu masih sempat kamu kerjakan, tidak? Pertanyaan selalu memenuhi kepalaku, ketika kamu selalu saja mengikuti keseharianku. Aku tidak khawatir kepadamu, Iwan. Tapi, kasihan ibumu di kampung. Bukankah kamu pernah bilang, kalau ibumu—yang janda—di kampung rela banting tulang untuk biaya kuliahmu, sedangkan di sini, kamu banting hati untuk aku yang tidak punya hati untuk kamu. Secuil pun tidak ada. Saranku, kamu menyerah saja, Iwan. 

Di suatu malam, kamu memaksaku menemuimu di taman kota. Berat hati aku melangkah ke sana, Iwan. Pikirku buang-buang waktu dan tenaga. Tapi, aku tidak tega mendengar rengekanmu seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. Lagipula aku tahu kamu, Iwan. Kamu akan selalu menunggu, meski tanpa kesepakatan. Kamu akan menunggu semalaman, dan itu membuatku merasa bersalah. Seperti kejadian beberapa malam yang lalu di depan gerbang rumah. Kamu menungguku hingga pagi bertandang. Tapi sudahlah, kejadian itu sudah berlalu. Aku tidak tega melihatmu seperti itu lagi. Makanya aku akan datang menemuimu malam ini. Akan kutebus kesalahanku di beberapa malam yang lalu kepadamu. Aneh, bukan. Aku dan kamu bukan siapa-siapa, tapi kamu sudah berani egois kepadaku. Bodohnya aku, karena selalu menuruti egomu. 

Kamu duduk mematung di atas ayunan besi. Ada linangan di sudut matamu yang memerah. Sepertinya kamu menangis keras ketika perjalanan ke sini.

“Maaf telat. Kamu ada urusan apa malam-malam begini?” tanyaku hendak segera mengakhiri perjumpaan.

“Sejak kapan kamu pacaran dengan Imam?” tanyanya tanpa melihat ke arahku.

“Jauh-jauh ke sini hanya untuk menanyakan itu?” tanyaku dongkol.

“Jawab saja, tidak usah mengalihkan pembicaraan!” bentaknya padaku. Ini kali pertama Iwan membentakku.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Empat bulan lebih kebersamaan kita, menurut kamu apa?”

Aku mematung. Tidak tahu harus jawab apa. Ingin tertawa, tapi takut Iwan murka. Lagipula dari mana Iwan tahu kalau aku pacaran dengan Imam. Toh, aku dan Imam tidak pernah mendeklarasikan hubungan kami berdua. Sejauh ini sampai beberapa menit yang lalu, yang mengetahui hubungan aku dan Imam, hanya kami berdua—aku dan Imam.

“Dari mana kamu tahu tentang aku dan Imam?” tanyaku penasaran.

“Jawab pertanyaanku dulu. Jangan balik bertanya!” Ini kali kedua kamu membentakku. Aku merasa sedikit kecewa kepadamu, Iwan. Tapi, apa peduliku. Aku dan kamu sebatas teman. Sejak awal sudah kukatakan dengan jelas, hanya teman, sebab tidak ada sedikit pun ruang yang tersisa untukmu, Iwan. Semuanya milik Imam.

“Bukankah kamu tahu, bahwa aku mencintai seseorang? Bukankah kebersamaan kita selama empat bulan lebih, cukup transparan untuk menunjukkan kesukaanku kepada seseorang itu? Masihkah kamu tidak mengerti, Anita? Kupikir kamu tidak sebodoh itu,” terangnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kalau begitu jawab aku, Iwan. Dari mana kamu tahu tentang hubungan aku dan Imam?”

“Menurutmu dari siapa lagi, kalau bukan Imam.”

Imam sudah melanggar janji yang sudah kami sepakati. Secara logika, wajar kalau Imam memberitahu Iwan—sahabatnya. Tapi, tetap saja Imam melangggar janji. Tidak, bukan apa-apa. Aku membuat janji bersama Imam untuk tidak mempublikasikan hubungan kami, karena aku benci jadi topik utama. Aku tidak ingin orang-orang membahas hubunganku bersama Imam. Itu saja.

“Aku minta maaf, Iwan!” kataku sambil menatap lekat kedua matanya yang basah.

“Kupikir kamu tidak akan setega ini kepadaku, Anita.”

“Aku minta maaf. Aku tidak tahu, kalau yang aku lakukan akan membuatmu sesakit ini. Sejak awal harusnya aku sudah tahu, kalau yang aku lakukan benar-benar salah. Benar-benar akan melukai perasaanmu, Iwan. Lagipula, kita sekadar teman, tidak lebih. Jadi ini bukan sepenuhnya salahku, Iwan. Tapi, biarlah. Aku akan membayar kesalahanku kepadamu. Mulai detik ini, aku akan menjauh.”

“Menjauh dari Imam?” tanyanya dengan mata sedikit berbinar.

“Tentu saja menjauh darimu, Iwan. Mungkin ini akan menyakitkan, tapi aku harus mengatakannya sekarang. Aku tidak ada perasaan sedikit pun kepadamu. Bahkan setelah empat bulan lebih kebersamaan kita. Tidak ada ruang untukmu, Iwan. Semuanya sudah dipenuhi oleh Imam. Aku minta maaf...” jelasku dengan mata berkaca-kaca.

Iwan lalu tertawa dengan keras. Terbahak sejadi-jadinya. Aku takut Iwan akan melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Ternyata dugaanku salah. Iwan hanya berayun pelan di ayunan sambil terus tersenyum.

“Iwan, apa kamu baik-baik saja?” tanyaku kemudian dengan suara bergetar.

“Anita, Anita. Dasar bodoh! Sepertinya kamu belum mengerti yang aku maksud.” Aku hanya diam sambil menunggu Iwan melanjutkan kata-katanya. Tapi, Iwan hanya mengantarku pulang ke rumah.

Tepat di depan gerbang, Iwan menghentikan langkahnya. Setelah berhasil menahan tawanya yang akan meledak untuk ke sekian kalinya, Iwan menatapku lekat. Baru kali ini jantungku berdegup kencang ketika bersamanya. Degup jantungku benar-benar tidak karuan dibuatnya. Kulihat Iwan semakin mendekatkan wajahnya. Semakin dekat, dan aku pun refleks menutup kedua mata.

“Aku sama sekali tidak pernah mencintaimu, Anita. Aku mendekatimu, hanya karena aku ingin tahu, bagaimana karakter orang yang dicintai orang yang aku cintai. Sebab, aku mencintai kekasihmu. Imam namanya.”  



Penulis: Rika Arlianti DM

Posting Komentar

0 Komentar