Cerpen, "Cinta & Laki-Laki" Oleh: Rika Arlianti DM

Cerpen, "Cinta & Laki-Laki" Oleh: Rika Arlianti DM


Aku selalu menyukai cerita yang disuguhkan olehnya. Apa pun yang diceritakan bisa membuat hati merasa tenang. Pikiran yang berkecamuk akan diam dan menenangkan diri setelah mendengar suaranya.

Ini tentang cinta pertamaku di bangku sekolah. Meski dari sekolah yang berbeda, tapi jarak sekolah kami cukup dekat. Hampir setiap hari setelah pulang dari sekolah, dia akan menunggu di depan gerbang sekolahku. Menyapa lewat senyumnya yang khas, yang tidak dimiliki lelaki mana pun. Termasuk ayah barangkali, sebab aku belum pernah melihat senyum ayah. Di rumah hanya ada satu wajah ayah yang tidak pernah menua, raut wajah tegang yang hanya bisa usang dimakan waktu, yaitu foto keluarga kecil kami yang ibu sembunyikan di antara lipatan pakaiannya.

Aku dan dia tidak ada hubungan apa pun, tapi aku mencintainya, entah dengannya. Aku tidak pernah berani bertanya perihal perasaan. Lagipula aku dan dia tidak pernah berbincang lama ketika bersua. Hanya menanyakan kabar dan pelajaran matematika yang sama-sama kami benci. Selebihnya mendengarkan dia bercerita apa saja, sedangkan aku akan mendengarkan dengan khidmat. Begitu seterusnya hingga dua bulan lamanya.

Dua bulan bukan waktu yang singkat. Selama dua bulan itu, belum mampu membunuh kekikukan dan rasa deg-degan di jantung. Seperti ketika kami berjanji untuk duduk bersama di bibir pantai sambil menghantar senja ke peraduannya. Ditemani es kelapa muda yang hambar, tapi terasa manis jika bersamanya.

Dia akan bercerita tentang apa saja yang melintas di pikirannya. Tentang layangan putus, korban tabrak lari di televisi, pertandingan sepak bola yang nama-nama pemainnya sulit dilafalkan, hingga hukuman yang diterimanya di sekolah karena ketahuan tidur di kelas ketika proses pembelajaran. Tidak ada pembicaraan penting. Anehnya aku menikmatinya. Selalu ingin mendengarnya bercerita, apa pun itu.

Aku mencintainya, tidak tahu dengannya. Bahkan setelah menjelang empat bulan kedekatan kami, aku masih mencintainya. Meski masih belum memiliki hubungan yang jelas. Sampai pada suatu hari, di depan warung bakso aku melihatnya mencium punggung tangan seseorang, lalu merangkulnya. Seseorang yang sangat familiar, ibu Indah, guru matematika di sekolah. Aku akui, kecantikan ibu Indah memang di atas rata-rata. Senyumnya pun indah seperti namanya.

Kabarnya, ibu Indah belum menikah, tapi sudah sejak lama bertunangan. Walau usianya sedang menanjak kepala tiga. Desas-desus tentang ibu Indah sudah menjadi makanan sehari-hari di sekolah. Begitulah salah satu risiko menjadi orang cantik, harus siap menjadi buah bibir. Ditambah lagi dengan latar belakang keluarga yang kurang beruntung, ibunya tukang nikah. ibu Indah adalah anak dari suami kedua ibunya.

Dasar laki-laki, semuanya sama saja. Mudah berpaling dan tidak bisa dipercaya. Tapi lucu juga, kenapa aku harus marah? Toh, aku dan dia tidak punya hubungan apa pun. Aku dan dia sebatas dua orang asing yang sengaja dipertemukan Tuhan untuk menghabiskan waktu bersama. Hanya itu. Dan barangkali waktu yang diberikan Tuhan sudah selesai, meski cintaku kepadanya tidak akan selesai.

Setelah kejadian itu, tidak ada yang berubah. Kecuali tumpukan pertanyaan yang berkeliaran di kepala, tapi tidak berani disuarakan.

"Apa kamu masih punya banyak waktu luang hari ini? Setidaknya sampai sebelum senja terbenam," tanyanya tiba-tiba. Aku hanya mengangguk pelan dengan senyum kecil di sudut bibir. Sepertinya akan banyak cerita yang dia dongengkan hari ini. Tapi, tidak seperti biasanya. Biasanya dia hanya akan bercerita tanpa bertanya apa aku masih punya waktu luang atau tidak.

Apakah dia akan bercerita tentang hubungan gelapnya bersama ibu Indah, guruku? Atau hendak memperjelas hubungan kami yang masih abu-abu, seperti warna rok sekolahku? Atau... tidak, tidak. Tidak mungkin dia akan mengakhiri rutinitas kami begitu saja. Dia tidak akan setega itu, mencampakkanku seperti yang dilakukan ayah kepada ibu, gumamku dalam hati.

"Menurutmu cinta itu seperti apa?" tanya dia yang membuatku kebingungan. Kemudian, kuputar otak untuk menemukan jawaban yang paling benar.

"Benar, tentang cinta memang sulit dijelaskan dengan kata-kata," tuturnya.

"Kurasa itu jawaban yang paling tepat. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal seperti itu? Bukankah itu pembahasan orang dewasa?" tanyaku penasaran.

"Apakah kita belum cukup dewasa?" Mendengar jawabannya, aku hanya terdiam sambil menatap langit. Aku memang sudah lama menanti dia berbicara tentang cinta. Tapi, entah kenapa ketika waktu itu tiba, aku seperti ingin berlari saja. Aku belum siap dengan pembahasan berat yang seringkali mematikan jiwa orang-orang dewasa.

Hari itu, perbincangan terakhir kami. Tidak ada ucapan selamat tinggal atau perayaan perpisahan. Sampai ketika aku meninggalkan kota (tempat kami bertemu dan menghabiskan waktu) untuk mengejar impian sambil melarikan diri dari jatuh cinta sendirian yang berkepanjangan. Tapi, Ibu tidak ikut bersamaku. Ibu masih setia menanti kepulangan suaminya di kota kelahiranku. Aku akan kembali setelah membereskan sesuatu dari hatiku. Begitu janjiku kepada ibu.

Tiga tahun di kota pelarian, akhirnya aku bisa membunuh rasaku kepadanya. Memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Aku pun mulai membuka hati untuk seorang lelaki yang setia menanti sejak awal kedatanganku di kota ini. Kak Nadir, begitu aku memanggilnya. Mungkin karena bantuan kak Nadir juga, sehingga aku bisa melewati hari-hari yang panjang dan melelahkan di kota asing ini.

Aku dan kak Nadir mengunjungi taman hiburan. Ini bukan kali pertama kami ke tempat ini, tapi ini kali pertama kami datang sebagai sepasang kekasih. Aku menyukai semua keunikan kak Nadir yang jauh berbeda dengan dia yang telah lalu. Suara yang sedikit berat, tidak seperti dia yang memiliki suara lembut. Aku sangat menikmati waktu yang kuhabiskan bersama kak Nadir, walau sesekali kepalaku sibuk membandingkannya dengan dia di masa lalu.

Perjalanan pulang, motor kak Nadir tiba-tiba macet. Setahuku tidak ada bengkel di sekitar jalan sini. Kulihat kak Nadir baru saja menghubungi salah satu temannya via telepon.

"Tenang saja, temanku sedang perjalanan ke sini untuk menjemputmu," katanya.

"Menjemputku? Lalu bagaimana dengan, Kakak?" tanyaku sedikit cemas.

"Sudah larut malam, sebaiknya kamu pulang duluan. Motor ini harus di servis terlebih dahulu. Butuh waktu lama, dan aku tidak ingin kamu menunggu lama,” bujuknya.

Benar-benar lelaki idaman, pikirku.

Setengah jam kemudian, sebuah mobil Jazz berhenti tepat di hadapan kami berdua. Dua orang lelaki turun dari mobil tersebut dan seseorang masih setia di kursi kemudi. Kak Nadir membukakan pintu untukku. Aku  mengikuti arahannya, lalu melambaikan tangan dari balik jendela mobil. Sepanjang perjalanan aku hanya memandang keluar jendela. Tidak menghiraukan seseorang yang fokus menyetir dengan pelan di sampingku.

"Alamat rumahmu dimana?" tanya seseorang itu yang menghentikan lamunanku, tapi memaksa otakku mencipta lamunan baru.

Suara itu... aku mengenalnya, kataku dalam hati.

"Kamu apa kabar?" tanyanya sambil menepikan mobil. Benar, suara itu benar-benar dia, pikirku.

Sekuat tenaga aku membendung air mata. Kuberanikan diri untuk melihat wajahnya. Memang benar dia. Senyumnya masih sama. Degup jantungku pun demikian. Seperti hendak melepaskan diri dari dalam sana.

Setelah berhasil menenangkan diri, aku mengeluh kepada diri sendiri dengan suara yang sengaja kubesarkan, "Kebetulan apa lagi yang direncanakan Tuhan untukku." Dia hanya tersenyum, dan kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jalanan yang ditempuhnya bukan menuju rumahku, tapi anehnya aku tidak menghentikannya sedikitpun. Lagipula, aku tidak ingin kembali menyendiri di rumah sewa yang sunyi itu dalam keadaan hati yang seperti ini. Dia membawaku ke pantai. Aku tidak bisa menebak isi kepalanya. Aku hanya ikut arus.

"Senja sudah lama terbenam, tapi kita masih bisa menjemput matahari pagi," katanya tanpa melepas pandang dari ombak yang meliuk.

"Bagaimana hubunganmu bersama ibu Indah?" tanyaku tiba-tiba yang membuat dia kaget. Tidak bisa kupungkiri, aku pun sedikit kaget dengan pertanyaanku sendiri. Tidak tahu kenapa aku bisa menyakan hal konyol yang telah lalu itu.

"Baguslah kalau kamu sudah tahu hubunganku bersama kak Indah."

Mendengarnya menyebut Ibu Indah dengan sebutan 'Kak' membuatku merinding sekaligus iri. Benar-benar penuh cinta. Kenapa aku masih cemburu? Padahal aku sudah punya kak Nadir. Aku berusaha meyakinkan hatiku dengan terus menyebut nama kekasihku, kak Nadir.

"Sejak kapan kamu bersama kak Nadir?" tanyanya penasaran.

"Apa urusannya denganmu?

"Kupikir kamu belum tahu, kalau kak Nadir tunangan kak Indah. Mereka sudah dijodohkan sejak tamat kuliah. Tapi, kak Nadir masih belum siap menikah. Katanya tunggu sampai dia benar-benar mapan." Aku benar-benar tidak mengerti apa dia bicarakan.

"Bukankah kamu dan kak Indah pacaran?" tanyaku dengan suara bergetar. Pertanyaan yang kupendam selama lebih dari tiga tahun lamanya akhirnya kulepaskan jua.

"Apa karena alasan itu kamu melarikan diri ke kota ini?"

Setelah beberapa menit membisu dan dia menyadari bahwa tidak ada tanda-tanda aku akan menjawab pertanyaannya, dia kembali ke sifat aslinya. Bercerita tanpa mengingat waktu. Semua penasaranku tentangnya terjawab sudah. Banyak kesalahpahaman yang terjadi karena ego, juga keengganan menuntut tanya. Aku benar-benar bodoh. Bisa-bisanya aku berpikir kalau dia dan Ibu Indah pacaran. Faktanya, mereka berdua adalah keluarga. Dia dan ibu Indah dari rahim yang sama, meski beda ayah. Dia anak dari suami ketiga ibunya dan ibunya ibu Indah, sedangkan ibu Indah anak kedua dari suami ibunya. Pikirku benar-benar dramatis. Ditambah dengan perjodohan ibu Indah dengan kekasihku—kak Nadir. Sepertinya aku akan melarikan diri lagi, dengan kembali ke kota kelahiran.

"Lalu apa yang membuatmu mengunjungi kota ini?" tanyaku tiba-tiba.

"Mungkin sinyal hatimu," jawabnya asal, tapi berhasil membuatku tersipu. Perjuanganku selama lebih dari tiga tahun ternyata sia-sia. Aku bukan pembunuh yang andal.

"Tapi bagaimana hubunganku dengan kak Nadir?"

"Katakan saja kalau kamu mencintaiku," katanya dengan percaya diri. Membuatku semakin menyukainya. "Lagipula, kan, dia sudah punya tunangan," lanjutnya.

"Bagaimana denganmu?"

"Aku juga sudah punya. Tunanganku sedang duduk bersamaku menanti matahari terbit," katanya sambil tersenyum.

Sepekan setelah dari pantai, aku kembali ke kota kelahiran bersama dia. Dua hari setelahnya, dia ke rumah bersama keluarganya untuk menyampaikan maksud baiknya. Tapi, setelah tiba di depan rumah. Semuanya menjadi gelap. Semuanya runtuh. Suami ketiga dari ibunya (ayahnya) ternyata adalah suami ibuku yang lupa jalan pulang (ayahku).



Editor: Abdullah

Posting Komentar

0 Komentar