OPINI, SABDATA.ID – Di penghujung tahun 2022 tercatat sebanyak 1.685 laporan dispensi nikah atau pernikahan dini yang ada di Sulawesi Selatan. Ini merupakan kasus terbanyak.
Seperti yang kita ketahui bersama, berdasarkan UU terbaru (2019) tentang batas usia pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Itu artinya mereka yang mengajukan masih di bawah 19 tahun.
Kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan bukan satu-satunya. Ketua pengadilan agama kota bandung, Asep Mohamad Ali Nurdin, Ia mengatakan 143 orang anak dibawah umur di kota Bandung, Jawa Barat, mengajukan permohonan dispensasi kawin melalui pihak pengadilan agama setempat sepanjang 2022.
Selanjutnya, data Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, angka permohonan dispensasi kawin (diska) di Provinsi Jawa Timur pada 2022 mencapai 15.212 kasus.
Kasus-kasus di atas perlu mendapat perhatian khusus. Mengingat usia mereka masih usia sekolah.
Selain itu, usia pernikahan dibawah umur memiliki dampak negatif. Misalnya mengalami depresi dan gangguan mental.
Baca juga: Opini, "Pertegas Posisi Wanita Sebagai Lokomotif Pembangunan Bangsa" Oleh: Adelia Nurul Islami
Tidak hanya itu, kehamilan risiko tinggi serta kematian ketika melahirkan. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa pernikahan usia dini memiliki dampak negatif.
Lantas bagaimana Islam memandang usia pernikahan dibawah umur?
Dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas usia pernikahan namun Al-Qur’an menjelaskan secara umum mengenai kapan seseorang bisa dinikahkan.
Terdapat dalam Surah An-Nisa yang artinya ”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. Al-Nisâ:6)
Bila dikaitkan dengan UU pernikahan tahun 2019, usia 19 tahun sebagai batas minimal, maka Islam dan hukum negara tidak bertentangan. Namun saling melengkapi.
Kemudian, berkaca dari dampak negatif pernikahan usia dibawah umur maka perlu regulasi yang tegas.
Selain edukasi secara terorganisir dan terstruktur serta massif agar tidak terjadi pernikahan di usia dini.
Sejauh ini, dampak negatif (mudharat) pernikahan usia dini belum teraktualisasi dan tersosialisasi secara optimal.
Olehnya, pemerintah sebaiknya mengajak komponen sipil, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk ikut bergerak. Dengan demikian, usaha pencegahan dapat dilakukan lebih maksimal.
Menurut pandangan saya selaku Kopri (Korps PMII-Putri) sebagai kelompok perempuan cerdas harus lebih aktif mengedukasi.
Kegiatan seperti sosialisasi dari dampak negatif pernikahan usia dini masih kurang. Jika perlu, Kopri menjadi garda terdepan menyuarakan apalagi perempuan menjadi objek dalam pernikahan usia dini.
Sebab bagaimanapun, perempuan yang paling dirugikan dari pernikahan usia dini. Perempuan kerap disalahkan, dipandang rendah, hingga menelan risiko kematian karena hamil di usia muda.
Semoga Kopri tidak lagi mengabaikan tugas mulia ini, sebagai insan beriman dan berilmu, harus mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Adelia Nurul Islami
Editor: Tim Redaksi
0 Komentar
Beri komentar masukan/saran yang bersifat membangun