Pemimpin, Masihkah Butuh Kajao Kebudayaan?

OPINI, SABDATA.ID – Kajao Laliddo adalah Penasihat Arung Mangkau yang hidup di zaman Raja Bone Tenri Rawe Bongkangnge (abad ke-16 M). Salah satu "Paseng" (baca: pesan atau nasihat) yang disampaikan Kajao Laliddo kepada Arung Mangkau'E yaitu:
  
   "Dua tanrana
    namaraja tanaE.
    Seuwani, macca na
    malempu' Arung
    Mangkau'E.
    Maduanna,
    tessisala-salaE ri
    lalempanua".

Artinya, ada dua tanda suatu negeri disebut jaya. Pertama, cerdas dan jujur pemimpinnya. Kedua, tidak terjadi pertikaian di tengah masyarakat.
 
To Acca (orang cerdas) seperti Kajao Laliddo di masa lalu sudah tidak ada lagi. Representasi kajao di era milenial saat ini adalah lembaga sosial-budaya, politik dan keagamaan. Pada dimensi sosial-budaya terdapat peran kajao yang disebut budayawan (Dewan Kebudayaan). Di bidang politik, ada komunitas yang bernama Tim Sukses, dan di level agama, itulah para ulama (Majelis Ulama).

Pertanyaannya, masihkah pemimpin membutuhkan buah pikiran dan nasihat dari para kajao? Secara khusus, masih. Kenyataan di sekitar kita, banyak pemimpin masih terus konsisten membangun komunikasi dengan  Tim Sukses di ruang inklusifitas janji-janji  politik di awal kampanye. Namun, secara umum, jawaban itu mungkin tidak berlaku bagi aspek agama dan budaya.

 
Baca Juga: Maut dan Janggut

Dua institusi sosial, seperti Dewan Pertimbangan Kebudayaan dan Majelis Ulama yang terbentuk di setiap wilayah, masih bersifat ekslusif  memainkan perannya sebagai kumpulan para kajao. Hal ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi para pemimpin (baca: pemerintah) tidak cerdas serta kurang jujur mengelola manajemen kepemimpinannya sehingga pikiran-pikiran religius dan kultural terpinggirkan. Kedua, mungkin pula para pemimpin sudah merasa diri sebagai "ulama" sekaligus "budayawan" sehingga tidak membutuhkan lagi nasihat atau pikiran kajao untuk mendasari moralitas manajemen kepemimpinannya.

Apabila kedua kemungkinan tersebut benar, maka apa yang dikhawatirkan oleh Kajao Laliddo akan pasti terjadi, yakni: hadirnya suatu wilayah pemerintahan yang kacau, tidak jaya dan jauh dari hikmah kemerdekaan (Baca: Temmaraja TanaE). Salah satu dampak dari kekhawatiran Kajao Laliddo itu adalah terjadinya berbagai permasalahan sosial di dalam negeri.

Ada kesan miris di hati para pemikir dan pegelut seni-budaya, khususnya di Sulawesi Selatan. Tidak etis rasanya apabila kita terlalu banyak menuntut peran seniman dan budayawan di dalam pembangunan moral bangsa, tanpa mengapresiasi kehadiran mereka sebagai kajao-kajao yang dibutuhkan oleh pemimpin di negerinya sendiri. 

Muncul pertanyaan turunan dari judul di atas. Seperti apa, seharusnya, implementasi kebutuhan pemimpin terhadap Kajao Kebudayaan ? Sebenarnya pertanyaan ini terkesan "pemborosan kata-kata", tapi para budayawan tetap bersikap arif menjawabnya. Bahwa, kita perlu melakukan introspeksi amanah rakyat di pundak seorang pemimpin pemerintahan. Di atas pundak mereka ada tanda pangkat. Di balik tanda pangkat itu tersimpul moral dan tanggung jawab pemerintahan dalam bungkusan rapi yang bernama: Undang-undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Di antara pasal-pasal itulah peran Kajao Kebudayaan terasa sangat dibutuhkan: "li ulil albaab", bagi pemimpin yang menggunakan akalnya. 
Dirgahayu RI ke-77. 

  "Bangunlah jiwanya, 
   bangunlah badannya,
   untuk Indonesia Raya".

Makassar, 13 Agustus 2022.






Penulis: Mahrus Andis
Editor: Musakkir

Posting Komentar

0 Komentar