Manusia, Kesempurnaan dan Urgensi Cinta

OPINI, SABDATA.ID — Sebagai sebuah maujud, manusia selalu tampil di alam ini dengan selalu berada dalam empat kemungkinan, apakah manusia secara potensi akan mengaktual dan tampil dalam peristiwa kehidupan ini dengan hanya menjadikan daya tolaknya hidup atau hanya  menghidupkan daya tariknya, ataukan justru tidak sama sekali menghidupkan keduanya, atau hidup dalam kepribadian ganda dengan selalu memancarkan daya tarik dan daya tolak. 

Semua itu tergantung bagaimana ia memandang jiwanya sebagai esensi dasar kediriannya dan bagaimana dia memandang hidup ini dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan. Selalu ada kaitan antara pandangan dunia terhadap jiwa dan tujuan hakiki dengan bagaimana kita bersikap dalam kehidupan ini, sikap yang secara Alami pada diri manusia berkaitan dengan dua hal, yaitu dengan jenisnya sendiri (manusia) dan Alam.

Sebelum kita berbicara agak panjang, kita terlebih dahulu harus memahami daya tarik dan daya tolak itu seperti apa? 

Daya tolak adalah keadaan dimana diri kita dalam hubungannya dengan orang lain terdapat sekat pembatas atau hijab yang membuat orang lain membenci diri kita, memusuhi, dan menjauhi kita. Keadaan ini biasanya terjadi bagi orang-orang yang dalam dirinya hanya memiliki jiwa kebinatangan, yang cenderung menciptakan kebencian dan musuh, sehingga hanya akan membuat orang-orang manjauh.

Sedangkan daya tarik adalah keadaan dimana ketika diri selalu memancarkan cinta dan kasih sayang sehingga hati orang-orang merasa tenang dan terpikat olah keindahan akhlaknya, jiwa orang-orang merasakan kehangatan ketika berada di dekatnya. Keadaan ini membuat orang-orang merasa tertarik untuk menjadi bagian dari kehidupannya.

Cinta diidentikkan dengan daya tarik dan kebencian diidentikkan dengan daya tolak. 

Akan tetapi seseorang yang hanya memiliki daya tarik, cenderung bermuka dua (munafik), ia akan menerima siapapun, meskipun mereka adalah orang zalim maupun orang yang adil,  mereka selalu memakai topeng di hadapan orang lain demi menyamankan perasaannya. Alam tempat berdialektikanya baik dan buruk, benar dan salah, sama dihadapannya.

Secara teori, kita selalu menghadapi kehidupan ini dengan bersandar pada suatu sudut pandang (gagasan). Ahli hukum memandang kehidupan ini dengan sudut pandang keadilan, ahli kedokteran memandang kehidupan ini dengan sudut pandang kesehatan, ahli ekonomi memandang kehidupan ini dengan sudut pandang untung dan rugi, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan cinta dan benci selalu dilandasi dengan sudut pandang-sudut pandang. Mangapa kita mencintai ? dan mengapa kita membenci ?.
Sudut pandang-sudut pandang itu, selalu menjadi acuan dalam perjalanan sejarah kita (masa lalu, sekarang, dan akan datang). Kenyataannya, kehidupan ini dipenuhi dengan sudut pandang. Saya tidak bermaksud menilai sudut pandang mana yang benar dan mana yang tidak, kita bebas memilih sudut pandang apapun tergantung mana yang menjadi kecenderungan kita dan mungkin menurut kita bisa mengantarkan kita menuju kepada kebahagiaan.

Terlepas dari apakah kita semua bersepakat atau tidak, namun kenyataannya fitrah kita menuntut, dimana kita ingin menjalani kehidupan ini dengan bersandar pada sudut pandang yang jelas akan hakikat kita diciptakan, akan kemana kita ?, dan bagaimana seharusnya kita menjalani hidup ?. Fitrah kecederungannya ingin menemukan kepastian tentang kehidupan ini.

Kenyataannya, proses sejarah kita kadangkala mengalami pergantian-pergantian sudut pandang, yang awalnya kita melihat dunia ini dari ukuran sudut pandang untung rugi, kemudian berganti pada sudut pandang susah dan senang, lalu sakit dan sehat, dan seterusnya. Pergantian-pergantian ini biasanya akan melahirkan sikap pesimis dalam menjalani hidup, semuanya serba tidak pasti dan relatif. Akhirnya tidak ada sandaran yang membuat kita bisa bertahan dalam menghadapi kehidupan ini dan memandang sejarah ini secara pesimis. 

Agama selalu memandang alam ini dari sudut pandang keilahian dan bersifat pasti dan jelas, apapun yang diajarkan agama selalu mengarah pada satu titik yaitu Tuhan, di alam terdapat dualitas (baik-buruk dan benar-salah), dalam dualitas alam ini, agama memiliki semangat kebencian terhadap keburukan-keburukan dan cinta kepada kebaikan. 

Agama senantiasa melihat alam ini dalam pandangan cinta dan benci. Kita bisa melihat agama yang memiliki karakteristik ganda ini pada agama yang dibawa oleh Al-mustafa Muhammad Saw. Revolusi sosial dan kebudayaan yang dibawa oleh nabi berada dalam sudut pandang cinta dan benci, sebagai refleksi dari daya tarik dan daya tolak.

Cinta adalah sebuah keadaan yang sangat misterius yang muncul dalam hati kita, para penyair Persia menamakan cinta itu sebagai "elixir" (baca MM), Lebih lanjut ia menjelaskan, Dahulu, Para ahli percaya bahwa ada suatu zat yang bernama eliksir yang dapat mengubah unsur menjadi unsur lain, yang dapat mengubah tembaga menjadi emas dan obat yang bermanfaat dan mujarab. 

Para penyair kemudian mengambil alih penggunaan terminologi ini dengan mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan eliksir sesungguhnya yang mempunyai daya transmanformasi adalah "CINTA", karena cintalah yang dapat mengubah suatu substansi. Seekor ayam betina akan tetap melipat sayapnya bila ia sendirian, berjalan santai mencari cacing-cacing kecil untuk dipatok, ia akan Sedikit bersuara dan tidak tegar di hadapan anak kecil lemah sekalipun. Namun, apabila ayam itu mempunyai anak, cinta mengambil pusat eksistensinya dan karakternya berubah total. Sayap yang tadinya dilipat, kini diturunkan sebagai tanda siap membela diri, kalau sebelumnya ia melarikan diri dari kemungkinan bahaya, kini ia menyerang di mana ada kemungkinan bahaya dan menyerang dengan berani. Inilah cinta yang mengubah ayam betina yang ketakutan menjadi seekor hewan yang berani.
Selanjutnya kita akan melihat kehidupan ini sebagai sebuah perjalanan untuk sampai kepada tujuan kita yang merupakan sebab final. Tentunya, tujuan kita diciptakan hanya akan bisa dipahami dengan menoleh kembali kepada sejarah penciptaan kita.

Manurut saya, tidak ada informasi yang paling jelas mengenai tujuan dan hakikat penciptaan selain informasi ilahi (Wahyu), kalaupun ada yang berusaha menjawab itu, maka ia hanya sampai pada asumsi-asumsi dan relatifitas dan akan berakhir pada absurditas (ketakbermaknaan/ketakbertartian) dalam memandang kehidupan ini. 

Pada akhirnya tidak ada optimisme dalam menjalani hidup. Manusia hanya akan menjadikan hal-hal yang berkaitan dengan kesehari-harian sebagai cita-cita dan tujuan, manusia hanya akan menjadikan hal-hal yang material sebagai tujuan, dan tidak akan membiarkan siapapun untuk menganggu kepentingan pribadinya, singkatnya manusia hanya memiliki kesadaran individualistis. Sementara ketika tujuan di sandarkan pada hal-hal yang material dan secara obyektif terbatas dan akan mengalami kehancuran, kesenangan manusia dengan sendirinya akan berakhir dengan hancurnya materi tersebut. 

Sementara ketika tujuan atau cita-cita di sandarkan pada Tuhan (Allah SWT), maka manusia tidak akan menemukan dalam dirinya keadaan pesimis dan keterputusasaan, sebab Allah SWT. adalah eksistensi yang tidak terbatas dan yang maha pemberi pertolongan, maha pengasih, maha penyayang, maha pembimbing, maha pemurah, maha tak terbatas, dan segala sifat-sifat kesempurnaannya yang lain. Manusia yang hidup dalam Allah SWT. Tidak akan menemukan keterbatasan dalam perjalanannya, sebab Dia maha tak terbatas. Manusia akan selalu merasa tenang, memiliki jalan keluar dalam setiap masalahnya dan selalu memiliki alasan untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dengan penuh optimisme.

Kesempurnaan manusia sebagai tujuannya dalam pandangan Islam adalah Allah SWT. Disinilah alur perjalanan yang mensyaratkan cinta dan benci yang diajarkan oleh nabi Muhammad Saw. 

Nabi Muhammad Saw. Adalah manifestasi jalan menuju Tuhan, maka berangsiapa yang mengikutinya maka akan sampai pada apa yang semestinya kita tuju. Apa yang diajarkan oleh nabi berupa larangan dan perintah, larangan dan perintah ini berprinsip pada cinta dan benci.

Ketika orang mencintai maka dengan sendirinya dia harus membenci, ketika pecinta mencintai kekasihnya maka dia akan menjaganya dan melakukan apapun yang membahagiakan kekasihnya dan akan membenci segala hal yang membahayakan kekasihnya.

Tidak terbatas pada hal itu, seorang pencinta juga akan cenderung mengikuti kekasihnya, menyerupakan dirinya dengan kekasihnya, apa yang dia lakukan sebagaimana apa yang kekasihnya lakukan, apa yang dia sukai sebagaimana apa yang kekasihnya sukai, apa yang dia benci sebagaimana apa yang kekasihnya benci, sikap dia sebagaimana sikap kekasihnya, dirinya sebagaimana diri kekasihnya. Beginilah watak CINTA. Cinta juga akan membuat seseorang rela berkorban nyawa demi yang dicintainya.

Maka nabi Muhammad SAW. Dan para manusia suci ahlulbait nabi. Adalah pribadi yang seharusnya kita cintai, mencintai mereka adalah merupakan hal yang seharusnya menjadi cita-cita kita, mencintai mereka seharusnya menjadi tujuan. Karena secara pengetahuan hanya dengan menjadikan mereka sebagai subyek cinta sehingga kita bisa sampai kepada Tuhan yang menjadi alasan kita hidup. 

Mencintai mereka akan membawa kita pada pribadi yang mencintai dan membenci, mencintai dan memberikan daya tarik pada hal-hal yang bisa membuat kita berjalan diatas jalan yang menyempurnakan dan membenci atau memberikan daya tolak pada segala hal yang menjauhkan kita dari kesempurnaan. 

Dalam sejarah kita menemukan banyak figur yang rela mati demi kekasihnya, sebagaimana Al Husein yang rela mati dalam keadaan kepala yang terpenggal demi agama datuknya Muhammad SAW, logika perjuangan imam Husein di Padang Karbala adalah logika cinta terhadap agamanya (Allah SWT). Puncak pengorbanan cinta Al Husein adalah syahid.

Wallahu a'lam bissawab.






Penulis: Yusril
Editor: Nurham

Posting Komentar

0 Komentar