Spiritualitas-Fungsi Sosial Cinta Perempuan dalam Perwajahan Politik (3)

OPINI, SABDATA.ID – Bukan berati saya mengangkat Al-Qur'an karena; pertama, saya menganggapnya sebagai sebuah Wahyu Tuhan, namun disini saya juga menganggap bahwa Al-Qur'an  adalah sebuah teori tersendiri. kedua, tulisan ini memang dikhususkan untuk membahas bagaimana pandangan Qur'an dalam melihat manusia.

Al-Quran adalah satu-satunya pandangan yang menyebut kata fitrah dan kata ini ditujukan pada manusia. Fitrah merupakan sebuah karakter dasar yang dimiliki oleh manusia dan ada sejak dia dilahirkan. Fitrah ini merupakan sebuah kecenderungan manusia dan merupakan pengarah dalam menjalani kehidupannya.

Ayatullah Murtadha Muthahhari, menjelaskan bahwa fitrah terbagi atas dua yaitu: kecendrungan biologis dan kecendrungan rohani.

Kecenderungan biologis seperti kecenderungan untuk makan, tidur, seks, dan lain-lain yang berkaitan dengan biologis, dan kecenderungan rohani seperti, kecenderungan berpengetahuan, moral, estetika, kreasi dan penciptaan, menghamba atau bertuhan.

Secara fitrah manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki semua kecenderungan ini dan ini adalah suatu fakta. Karena itu laki-laki dan perempuan adalah sama pada wilayah ini. Sehingga keliru ketika laki-laki memandang perempuan lebih rendah dari dirinya.

Namun disisi lain secara kodrat ada sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui sedangkan laki-laki tidak.

Olehnya itu perempuan memiliki tugas lebih untuk mengurus anak. Dan merupakan tuntutan Alami sehingga memang harus lebih banyak waktunya di rumah dan ini bukanlah hal yang rendah, ini bukanlah kedudukan yang rendah, ketika ada yang menganggap rendah sikap ini, pertanyaannya adalah apa neracanya sehingga itu diukur rendah?

Apa ukuran sesuatu itu dikatakan rendah? Apakah membesarkan anak itu rendah? Apakah mengurus rumah itu rendah? 
Padahal itu adalah sebuah keharusan sehingga manusia dalam relasinya mampu mengantarkan pada sebuah keseimbangan dan berkonsekuensi pada kebahagiaan. Pendapat yang mengatakan itu rendah adalah sangat keliru.

Dalam kasus ini saya tidak memiliki alasan kenapa kemudian mendidik anak itu dikatakan rendah? Apakah menyusui anak adalah wajah kelemahan dan kekurangan? Ini adalah sebuah asumsi yang tidak logis sebab ini juga adalah sebuah pekerjaan yang sangat fundamental yang hanya bisa dikerjakan oleh perempuan.

meskipun pada sisi yang lain laki-laki juga berperan dalam menjaga anak. Menurut saya disinilah sebuah pembagian peran yang seimbang agar tidak ada tumpang tindih, pihak Ayah mencari nafkah dan pihak Ibu merawat anak.

Pendapat ini bukan berarti ingin mengajak pada asumsi bahwa perempuan lebih tinggi kedudukannya dari laki-laki sebab fakta bahwa memang ada sifat sosial dan relasi yang mengikat dan itu menempel dalam setiap jiwa laki-laki maupun perempuan untuk saling memahami satu sama lain sehingga terciptalah peran kosmik (seimbang) antara keduanya.

Tentu ketika tidak dihubungkan dengan anak atau rumah tangga dalam artian individu-individu, mereka sama-sama berpotensi atau berhak dan berkewajiban untuk bekerja dalam hal mencari nafkah dan sama-sama dalam hal mencuci,  memasak, dan membersihkan rumah (pekerjaan rumah), pendidik dan yang dididik, bahkan perpolitikan.

hal di atas tidaklah menjadi persoalan, namun hendaknya harus terus berada dalam pola saling mengisi kekosongan untuk mencapai keseimbangan dengan mengikuti esensi dirinya masing-masing.

Secara individu mereka memiliki kondisi atau kualitas fitrah yang sama. Jadi tidak ada alasan melihat adanya sebuah kedudukan yang lebih tinggi dan kedudukan yang lebih rendah semuanya berada dalam koridor yang seimbang.

Akhir-akhir ini muncul banyak gerakan-gerakan dengan berdalih memperjuangkan hak perempuan dengan membungkusnya dalam ideologi dan narasi gerakan feminisme. Setidaknya ini banyak kita jumpai di kampus-kampus sebagai ruang hidupnya tradisi keilmuan dan sarana memperkenalkan ideologi-ideologi.


Perempuan dan dapur kerapkali dinilai sebagai sebuah bentuk hegemoni terhadap perempuan, dengan menggunakan ukuran ringan dan berat kemudian diberi predikat bahwa perempuan itu rendah karena hanya mengurusi hal-hal yang ringan seperti dapur, kamar, sumur, semuanya dalam ruang lingkup rumah.

Dan laki-laki dinilai hebat karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat diluar rumah (politik, pemerintahan, sawah, berkebun, berdagang, dll).

Kita bertanya, kenapa di dalam rumah dinilai rendah? Dan kenapa di luar rumah dinilai hebat? Apa hubungannya antara rumah dan nilai rendah? Dan apa hubungannya diluar rumah dan nilai hebat? Apa hubungannya perempuan dan rumah? Dan apa hubungannya laki-laki dan di luar rumah? Selanjutnya, apakah hubungan itu adalah niscaya? Apa tolak ukur keniscayaan dan tidaknya?

Tentu saya dan mungkin kita semua bersepakat bahwa, tidak ada hubungan niscaya antara perempuan dan rumah begitu pula laki-laki. Ke-duanya memiliki posisi yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Namun dalam konteks pernikahan, tentu harus ada sebuah tradisi baru yang dibangun, karena ini mengenai relasi dalam kehidupan yang baru.

Kenapa harus perempuan di dapur bukan laki-laki? Sekali lagi tidak ada keharusan dan hubungannya antara laki-laki dan perempuan dengan dapur.

Namun kita tidak bisa menolak keberadaan dapur adalah suatu keharusan dalam rumah cinta, dan harus ada yang berperan mengisi ruang itu.

Ini adalah persoalan alamiah bahwa seseorang membutuhkan makanan untuk memastikan kebutuhan fisiknya terpenuhi, secara obyektif. Kita semua tentu menerimanya sebagai suatu keharusan.

Persoalan peran di dapur adalah perkara subyektif, bisa laki-laki bisa perempuan.
Namun kenapa dalam tradisi kita kebanyakan perempuan?

Kita mungkin bisa menjawabnya dengan menggunakan realitas cinta dan jiwa dalam suatu paradigma semangat gerak jiwa secara transendental dan konsep kemuliaan. Islam meletakkan jiwa sebagai suatu hal yang sangat fundamental.

Jiwa adalah realitas jati diri yang paling dalam. Dalam narasi filsafat Islam, jiwa mengalami gerak secara vertikal. Perjalan jiwa inilah yang menjadi fokus kesadaran, bahwa manusia akan menjadi dekat kepada Tuhan-nya itu terkait dengan jiwanya.
Banyak jalan menuju Tuhan.

Cinta adalah sebuah kerelaan dalam memberi. Posisi cinta dalam Islam dan dalam padangan-pandangan Irfan, tasawuf maupun sufistik memiliki derajat sangat tinggi karena berkaitan dengan keikhlasan dan moral.

Menurut saya, perempuan yang memilih berperan di dapur karena kerelaan atas dasar cinta adalah suatu hal yang sah-sah saja. Meskipun banyak juga kita jumpai kerelaan ini dibangun di atas dasar kebudayaan kita yang turun-temurun. tentu kita menolak kemuliaan yang tidak dilandasi kesadaran yang dicapai oleh kesadaran pengetahuan yang obyektif.

Jiwa yang dalam subyektifitasnya memilih dengan rela karena landasan yang obyektif adalah sebuah kesadaran kemanusiaan yang berakal dan berbudi. Manusia membutuhkan makan adalah suatu hal yang obyektif. Kesadaran subyektif untuk memilih berperan di dapur adalah suatu keharusan.

Membangun sebuah peradaban dengan berangkat dari suatu hal yang ilmiah adalah sebuah keharusan, dan dapur adalah suatu hal yang ilmiah sebagai awal membangun sebuah peradaban, sebab manusia membutuhkan makan untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.


... (Sambung part 4)











Penulis: Yusril (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, UIN Alauddin Makassar) 
Editor: Mappa

Posting Komentar

0 Komentar