Stabilitas Harga Beras masa Pandemi

Opini, "Stabilitas Harga Beras masa Pandemi" oleh: Teguh Haryadi
OPINI, SABDATA.ID – Pandemi Covid-19 telah menimbulkan ketidakstabilan disemua sektor perekonomian tidak terkecuali di sektor pertanian. Sektor pertanian menjadi sektor terakhir yang sanggup bertahan dalam goncangan apapun.

Namun bukan berarti pandemi Covid-19 tidak memiliki efek pada kegiatan usaha pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sektor pertanian selama pandemi Covid-19 yang ditinjau dari aspek subsistem agribisnis mulai dari hulu hingga hilir.

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan fenomena-fenomena yang terjadi pada sektor pertanian akibat dari corona virus.

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar menyebabkan terjadinya pembatasan termasuk dalam hal distribusi Saprodi untuk kegiatan pertanian dibagian hulu.
Selain itu, pada bagian usaha tani tetap harus dilakukan guna memenuhi kebutuhan pangan. Platform digital dan media online menjadi salah satu upaya efektif dalam pemasaran produk pertanian namun hanya bisa dinikmati oleh pelaku pertanian yang melek teknologi.

Setiap stakeholder pendukung kegiatan usaha tani harus selalu bersinergi guna mendukung terciptanya produk pertanian yang berkualitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Berbagai upaya diperlukan guna menjaga eksistensi kegiatan usaha tani dan menjaga stabilitas ketahanan pangan di masa pandemi.

Dampak pandemi Covid-19 sangat terasa pada komoditas bahan makanan pokok seperti beras.

Bahan makanan pokok merupakan kebutuhan utama masyarakat sehingga pemerintah harus lebih dapat mengintegrasikan jaringan pasar induk pada setiap daerah, meningkatkan jaminan stok dan logistik, serta melakukan peningkatan produksi.

Untuk sama-sama merasa untung alangkah baiknya apabila pemerintah meningkatkan stok dan logistik bahan makanan pokok yang berasal dari petani lokal.
Karena selama Pandemi Covid-19 petani juga merasakan dampak yang sangat besar karena petani merasakan harga jual gabah anjlok di tengah Pandemi Covid-19 karena adanya wacana bahwa akan ada impor beras sebanyak 1,5 ton.

Dengan adanya kebijkan yang dikeluarkan oleh pemerintah membuat para petani merasa sakit hati karena pada saat itu juga petani sedang panen raya.

Meskipun impor beras masih simpang siur tapi sudah sangat mempengaruhi harga jual gabah kering para petani. Hal ini juga dapat dimanfaatkan bagi reseller untuk menaikkan harga yang dapat merugikan petani. 

Walaupun wacana impor sudah tidak ada lagi akan tetapi tetap saja harga beras akan tetap hancur karena ulah reseller yang telah menaikkan harga beras dan membuat para petani rugi besar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada Juli 2021, impor masih diberlakukan di Indonesia bahkan mencapai 15,1 milliar dollar AS. Salah satu penyumbang impor pada bulan itu adalah beras 41,6 ribu ton dengan nilai 18,5 juta dollar AS.

Kebijkan impor beras, secara normatif sesungguhnya tidak sesuai dengan norma hukum dalam arti peraturan perundang-undangan.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan) yang menyatakan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat di produksi di dalam negeri.

Sedangkan ketentuan di dalam Pasal 34 UU Pangan menyatakan, bahwa ekspor pangan hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional.

Artinya, menurut undang-undang ini, kebijakan impor hanya dapat dilakukan setelah produksi dalam negeri kurang dan ekspor baru dapat dilakukan ketika kebutuhan dalam negeri mencukupi.

Atau dapat dikatakan, kebijakan ekspor dan kebijakan impor tidak akan pernah bisa dilaksanakan bersama-sama karena keduanya merupakan dua hal yang saling bertolak belakang. 

Pada kenyatannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia masih
melakukan impor beras bersama-sama dengan kebijakan ekspor.

Sepanjang Januari-Desember 2020, impor beras Indonesia mencapai 356.286 ribu ton dengan nilai US$ 195,4 juta. Angka tersebut merupakan akumulasi nilai impor beras ke Indonesia dari Januari hingga Desember 2020.

Fakta ini tentu menunjukkan bahwa kebijakan impor beras, bertentangan dengan norma yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan (UU Pangan). 

Sepanjang 2020 tersebut, Indonesia paling banyak mengimpor beras dari Pakistan yakni sebesar 110.516 ton atau senilai 41,51 juta dollar AS. Selanjutnya urutan kedua diduduki beras impor asal Vietnam yakni sebanyak 88.716 ton, yang juga dipasok ke Indonesia. 

Namun, dari sisi nilai impornya, beras Vietnam setara 51,1 juta dollar AS, tergolong lebih mahal dibandingkan Pakistan. Adapun Thailand mengekspor 88.593 ton beras ke Indonesia sepanjang 2020. Angka itu setara dengan 76,3 juta dollar AS, atau lebih mahal dari beras impor asal Vietnam.

Sedangkan impor beras sisanya berasal dari sejumlah negara lain seperti Myanmar, India, dan negara lainnya. Fakta ini tentu menunjukkan bahwa kebijakan impor beras, bertentangan dengan norma yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan UU pasal 16 ayat (2) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 menyatakan:

“Beras yang diimpor untuk Keperluan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II Kelompok A.”

Di dalam lampiran II tersebut, dinyatakan bahwa untuk impor keperluan umum dapat
dilakukan terhadap beras premium, beras medium I, dan beras medium II.

Beras Premium adalah beras yang derajat sosohnya mencapai 100 persen (derajat sosoh adalah tingkat terlepasnya aleuron atau kulit ari yang melapisi beras).

Sedangkan beras medium I memiliki tingkat kepecahan maksimal 20 persen, dan beras
medium II memiliki tingkat kepecahan maksimal 25 persen.


Meskipun dengan “Dibolehkannya” beras premium untuk diimpor, tetapi tetap saja bertentangan dengan asas penyelenggaraan pangan sebagaimana yang telah ditentukan pada Pasal 3 UU Pangan.

Namun yang menjadi pertanyaan saya yaitu, mengapa Indonesia masih menerima impor yang jumlahnya sangat besar? Sedangkan di Indonesia banyak petani yang melakukan panen raya dengan hasil beras yang sangat memuaskan.

Di Indonesia juga masih bisa mencukupi kebutuhan beras untuk masyarakat di setiap desa bahkan tanpa adanya Impor beras.

Kalau hanya untuk jaga-jaga pada masa Pandemi Covid-19 saya rasa tidak perlu selagi di Indonesia masih mencukupi stok dan logistik. Dengan adanya impor beras maka para petani merasa sangat dirugikan.






DAFTAR PUSTAKA
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS). Perkembangan Harga Pangan Berdasarkan Semua Provinsi Januari 2020 - Desember 2020. https://hargapangan.id/tabel-harga/pasar-tradisional/daerah

Badan Pusat Statistik (BPS). Impor Beras Menurut Negara Asal Utama,2000 - 2020.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1043/impor-beras-menurut-negara-asal-utama-2000-2019.html

BBC News Indonesia, Resty Woro Yuniar. 6 Agustus 2020. ‘Resesi di depan mata’, petani ‘paling terdampak’ harus hadapi ‘harga yang hancur’

Kompas.com. Muhammad Choirul Anwar, Maret 202. BPS Ungkap Indonesia Masih Impor Beras pada tahun 2020.

Muhammad Fikri Alan (2019). Kebijakan Impor Beras di Indonesia. Jurnal Ilmiah Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
 






Penulis: Teguh Haryadi (Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEBI UIN Alauddin Makassar)
Editor: Nanur Saputra

Posting Komentar

0 Komentar