Cerpen, "Realitas Absurd " Oleh: Rika Arlianti DM

Cerpen, "Realitas Absurd "
Oleh: Rika Arlianti DM
Ketika orang-orang bercerita tentang kasih sayang orang tua, kebahagiaan berkumpul di ruang keluarga, menyantap makanan bersama di meja makan, menghabiskan akhir pekan di bibir pantai atau taman hiburan. Aku hanya bisa diam dan mengembuskan napas berat. Aku iri sebab tidak pernah merasakan hal semewah itu.

Pikiranku kembali ke masa lalu...
Aku masih kecil waktu itu. Sudah mengenal bahasa, tapi tidak dengan kata-kata. Tangisku masih bersuara nyaring dan merdu. Rambut sebahu dan banyak kutu. Di sekolah—tempat menimba ilmu—belajar menyanyi dan memaki. Pura-pura tuli dan kadang lupa berbicara.
Di rumah—seumpama penjara. Hanya ada aku, ayah, dan tanya, tanpa ibu. Ibu selalu menyesal, dan merasa terpaksa ditumpangi rahimnya—dulu. Peluknya yang sering aku impikan, tapi berujung kesakitan. Berakhir linangan di sudut mata dan bantal.

Aku tidak tahu wajah ibu seperti apa. Satu-satunya yang aku tahu, ibu ahli melupakan dan terlatih meninggalkan. Sedang ayah tidak suka banyak kata. Ayah punya cara sendiri untuk memeluk sakitnya. Membuat lawakan, umpama. Namun, kepura-puraan akan selalu berakhir tangis, kemudian terbahak dengan dada yang sesak.

Kata orang-orang, setelah melahirkan, ibu mencampakkan ayah dan aku. Sedikit pun ibu tak pernah menyentuh terlebih membelaidaku. Orang bilang, ibu sudah bahagia bersama keluarga barunya.

Aku punya dua orang adik, satu orang yang juga pernah mendiami rahim serupa denganku dulu. Sedang satunya lagi dari sperma suami ibu, tapi dari rahim yang bukan milik ibu. Kata orang juga, suami ibu orang berada, keluarga terpandang. Mereka tinggal di kampung sebelah.

Aku baru tahu kemarin sore dari mulut orang-orang nyinyir yang gemar mengobral belas kasih yang nyatanya berupa racun.  Tentu saja ayah dan aku merindukan ibu. Meski terasa aneh merindukan seseorang yang tidak pernah kita jumpai sebelumnya. Sekali pun, tidak.  Ayah orang baik, semua yang pernah bertemu dengannya pasti menyadari kebaikannya. Tapi kenapa dipertemukan kepada ibu yang brengsek? Bukankah jodoh adalah cerminan dari diri kita sendiri?
 
Ibu tidak pernah merindukan ayah, juga tidak pernah menginginkanku. Orang-orang hanya berkisah perihal ibu yang menyia-nyiakan aku dan ayah. Apakah tidak ada sedikit pun kebaikan ibu yang terlintas di benak mereka?
Ayah tidak suka marah, ia selalu tersenyum. Tapi pernah sekali ayah marah besar. Ketika aku mencoba memastikan kebenaran kisah yang diceritakan orang-orang tentang ibu. Tidak, ayah bukan marah kepadaku, tapi kepada kisah fiktif karangan orang-orang tentang ibu.

Ayah selalu seperti itu, sejak kecil hingga remaja, sekali pun ayah tidak pernah membahas kejelekan ibu. Aku tidak pernah melihat kebencian di mata ayah jika kusebut nama ibu. Sedikit pun tidak ada. Terlebih dalam bahasa kata. Ayah hanya tersenyum, seperti ada kupu-kupu yang menggelitik jantungnya. Ayah hanya akan berkata, "Ibumu orang baik, ibumu orang baik, ibumu orang baik." Seperti bergema dengan linangan air mata di pelupuk.

Ayah merindukan ibu, juga menyayangiku. Ayah anak sulung dari tiga bersaudara. Namun, tidak ada yang mengakui ayah sebagai saudara sejak ibu dan bapak ayah meninggal dunia. Ayah seperti orang buangan, sebatang kara.

Aku tidak tahu kenapa orang baik selalu dijahati. Selalu ditindas dan dipenjarakan kehendaknya. Di mataku ayah orang baik. Di mata orang-orang juga begitu.

Usiaku semakin memanjang seiring persoalan hidup yang kian bertambah berat. Ayah sudah tiada sejak aku beranjak dewasa. Katanya ia meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas, yang belakangan kutahu ternyata pembunuhan berencana. Polisi juga tahu. Tapi memilih bungkam. "Demi keselamatan nyawamu. Itu pesan terakhir ayahmu!" tegas pak polisi yang juga sahabat karib ayah.

Aku tidak punya siapa-siapa, selain warisan ayah berupa sebuah rumah yang sedang kudiami sekarang dan kebun sempit di belakang sawah milik tetangga, muat untuk menanam sayur dan satu pohon kelapa.
Sebentar lagi aku sarjana.

Jadi kucoba mencari ibu di kampung sebelah. Barangkali bencinya sudah luntur dan sudi menerima hadirku, setidaknya ibu bisa hadir di wisuda nanti, sebab salah satu orang yang dibencinya sudah tiada—ayah. Dan barangkali juga ibu bisa bangga punya anak sarjana, meski hanya lulusan dari universitas swasta di kota kelahiran ayah, ibu, dan juga aku.
Setelah ayah meninggal, pak polisi menggantikan peran ayah meski tidak semuanya.

Pak polisi membayar uang kuliah, juga pajak tanah dan motor ayah. Ketika bertanya kenapa, katanya karena aku anak ayah. Ayah sahabatnya pak polisi. Jadi dia peduli. Meski biaya kuliah ditanggung pak polisi, tapi tidak dengan kebutuhan sehari-hari karena ayah punya tabungan di bank. Tabungan itu atas namaku. Aku baru tahu setengah purnama setelah ketiadaan ayah. Pak polisi yang beri tahu.

Dari kejauhan ibu tampak bahagia bersama anak-anaknya sambil menyiram bunga di halaman rumah yang minimalis tapi terkesan elegan. Benar kata ayah, ibu sangat pandai merawat tanaman. Kata ayah, ibu memiliki keahlian itu sejak kecil.

Ayah dan ibu besar di kampung yang sama. Setelah masuk SMA, ibu pindah ke kampung ini—kampung sebelah—tapi tidak dengan ayah.
Ini kali pertama melihat wajah ibu. Alamat dan foto ibu aku dapat dari sahabat ayah—pak polisi. Kata pak polisi sahabat ayah, jangan beri tahu ibu kalau alamatnya dapat darinya. Ketika bertanya kenapa, pak polisi tersenyum dan berkata demi ayah. Jika sudah mendapat jawaban seperti itu, aku sudah tidak tahu harus bagaimana selain anggukan kecil tanda setuju.

Jika dilihat lebih dalam, wajahku benar-benar mirip dengan ibu. Persis sekali. Ayah juga sering bilang begitu. Pak polisi juga berdesis begitu ketika memberikan foto ibu. Entah harus bahagia atau bersedih. Karena dengan wajah copy-an ini, ibu akan lebih mudah mengenaliku—anaknya jika ia mengakui.
Kuberanikan diri menyapa ibu setelah memasuki pagar rumahnya. Ibu hanya diam sambil menatapku lama, seperti sedang menyelesaikan soal aljabar dan geometri di sekolah. Aku tersenyum kikuk, mencoba membuat bendungan di sudut mata.

Ibu pura-pura tidak mengenalku, padahal terlihat jelas wajah kagetnya melihat janin dari rahimnya telah menjelma menjadi manusia dewasa.

"Cari siapa, dek?" tanyanya kemudian. Aku hanya diam, sebab takut air mata tumpah ruah.
"Maaf, Bu, sepertinya saya salah alamat," kataku berlalu sambil mengusap kasar air mata yang membanjiri pipi.

Di rumah tidak ada siapa-siapa selain aku, bayangan ayah, dan ilusi tentang ibu. Kacau. Muak dengan takdir yang rumit. Aku lemah berakting kuat. Keluarga pincang yang jauh dari kata utuh semakin hari semakin menindih dalam kesedihan mendalam.

Setelah air mata mengering, kupikir menyibukkan diri bisa menjadi obat penenang sekaligus pereda sakit kepala paling manjur saat ini. Ketika beranjak, tiba-tiba muncul seseorang dari balik pintu. Aku tertegun lama. Seseorang yang berwajah mirip ayah dengan pakaian serupa yang dikenakan ayah sebelum meninggal dunia, tapi dengan bercak darah di mana-mana. Ayah memelukku sangat lama dan dalam, sedang aku hanya mematung.
Kucoba memanggil ayah tapi tetap bergeming. Kemudian, ayah melepas peluknya, lalu menarik tangan dan menuntunku duduk di sofa.

"Ayah sangat mencintaimu, juga ibumu. Tapi setahu ayah, ibumu tak pernah mencintaiku juga hadirmu. Ayah bukan siapa-siapanya ibu, tapi ibu orang teristimewa ayah. Ibu adalah cinta pertama dan terakhir ayah. Tidak dengan ibu. Ibu memberikan cintanya kepada banyak lelaki, tapi yang paling dicintai ibumu adalah ayahmu, ayah yang menitipmu di rahim kekasihnya ibumu. Setelah ibu, ayah, ayahmu, dan keluarga kami tahu kehadiranmu yang sudah tumbuh subur di dalam sana selama ±2 bulan, ayahmu kekasih ibumu tiba-tiba menghilang.

Lagi-lagi karena aku mencintai ibumu, ayah memilih menikahinya dan merantau bersama ke kampung ini. Ibumu bukan tak menyukai dirimu, tapi membenci dirinya sendiri tatkala melihatmu. Ibumu sedang menghukum dirinya sendiri," terang ayah.

Aku menyembunyikan wajah setelah mencerna kumpulan kalimat-kalimat ayah yang berlabirin. Satu menit, dua menit, lima belas menit kemudian. Aku menghambur ke pelukan ayah.
"Ayah dari mana saja?" tanyaku sesegukan dalam peluknya.

"Ayahmu di sini, Nak!" kata seseorang dari arah pintu. Aku mendongak ke arah suara tadi. “Pak polisi..., batinku, dan baru kusadari ternyata kedua lenganku sedang tidak memeluk siapa-siapa. 
 


Editor: Abdullah

Posting Komentar

0 Komentar