Opini, "Ngakak Ilmiah" oleh: Abdullah

Opini, "Ngakak Ilmiah" oleh: Abdullah
Tidak ada arti baku dari istilah 'ngakak' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V) namun dewasa kini, kata ngakak diartikan sebagai kondisi seseorang yang tertawa mendengar atau melihat hal-hal lucu.

Sedangkan istilah Ilmiah, dikonotasikan sebagai hal yang sifatnya empiris alias apa yang betul-betul terjadi di lapangan.

Jadi, istilah 'ngakak ilmiah' ini dapat disimpulkan ialah ekspresi seseorang yang tertawa melihat atau mendengar hal lucu dihadapannya.
Istilah tersebut sejatinya muncul di benak saya setelah mendengarkan paparan dosen saya di mata kuliah hukum kelembagaan negara. Sebut saja nama dosennya pak Ahkam Jayadi.

Saat itu di ruang kelas fakultas syariah dan hukum UIN Alauddin Makassar, beliau seperti biasanya mengajar dengan ciri khasnya.

Ciri khas yang dimana saat awal pembelajaran tidak lupa mengajak mahasiswanya untuk sama-sama membaca surah Al-fatihah lengkap dengan doa Wasilah kepada nabi Muhammad SAW.

Saya banyak belajar dari beliau lebih terkhusus belajar soal critical thinking (berpikir kritis). Belajar terkait bagaimana mahasiswa tidak mudah menerima suatu hal tanpa sebelumnya difilter dengan saringan kritis yang valid.

Dari pemikiran kritisnya, seringkali beliau memaparkan contoh-contoh isu terkini lengkap dengan bahan komparasi pemikiran kritisnya. 
Satu hari, pernah menjelaskan bahwa pemerintah saat ini dikuasai oleh sosok yang bukan ahlinya sehingga tidak heran kondisi pemerintahan ia sebut (sedikit) 'kacau balau'.

Bahkan tidak segan menyebut pejabat pemerintah dari 'sarjana teknik' bagaimana bisa menguasai pemerintahan? Yang mana potensi sarjana ini tidak linear dengan dinamika pemerintahan.

Tidak biasanya, beliau juga melontarkan pernyataan ke mahasiswa, "Lah, bagaimana bisa, pemerintahan kita hari ini dapat dikuasai oleh pejabat dari sarjana yang bukan ahlinya?" tanyanya. 

Secara tidak langsung, beliau mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis soal pentingnya Kredibilitas seseorang dalam membidangi suatu kekuasaan pemerintahan.

Ia menjelaskan, sejatinya pemerintah perlu dikuasai oleh ahlinya termasuk dari lulusan ilmu hukum agar pemerintahan berjalan sesuai dengan porosnya. 

Kredibilitas seseorang diukur dari potensi yang ia miliki termasuk melihat latar belakang pendidikan yang ia keluti dahulu. Tidak terlepas dalam konteks kredibilitas seorang pejabat pemerintahan.
Idealnya, pejabat pemerintahan menurutnya, dipegang oleh sarjana-sarjana pemerintahan itu sendiri seperti sarjana politik atau setidaknya oleh sarjana hukum. 

Sisi lain, ia memberikan contoh penjelasan bahwa seorang pejabat pemerintah bagaimana bisa memahami kondisi penderitaan masyarakatnya sedangkan pejabat pemerintahan tersebut dari kecil dikelilingi dengan fasilitas 'mewah'. 

Pejabat pemerintah yang terlahir dari keluarga "berada" yang jauh dari penderitaan ekonomi lalu bagaimana bisa memahami penderitaan rakyatnya?

Akan sangat sulit memahami kondisi masyarakat luas jika pemerintah sudah terbiasa dengan fasilitas mewah dan jauh dari penderitaan sejak dilahirkan. Anggap seperti Rafathar dan Rayyanza yang dilahirkan dari orang tua kaya.

Empati dan simpati sangat minim dimiliki oleh pemerintah yang tidak terlahir dari kondisi kehidupan rakyat kecil. Namun berbeda dengan pejabat pemerintahan yang memang terlahir dari kondisi masyarakat terpinggirkan. 

Akan jauh berbeda bilamana pemerintah adalah sosok yang berasal dari kehidupan sederhana yang dekat dengan kehidupan penderitaan. Ia mampu dengan mudah empati dan simpati pada rakyat. 

Bukan sosok yang terbiasa dengan kehidupan megah istana ruangan ber-AC jauh dari penderitaan yang agaknya sulit betul-betul memahami kondisi rakyat.

Akan berbeda jauh secara value antara Pemerintah yang terlahir dari kesederhanaan dan pemerintah yang berasal dari kemegahan. 

Dari pernyataan-pernyataan contoh tersebut mengundang critical thinking mahasiswanya sekaligus mendengarnya saya pun ter-ngakak ilmiah. Ouw iya iya, betul juga Hahh (dalam benak). 

Ngakak mendengar contoh-contoh kasus ilmiah yang saat ini memang terjadi (ilmiah) di pemerintahan kita. Begitulah kondisi negeri ini.

Disisi lain soal contoh isu anggaran 48 Miliyar yang digelontorkan oleh pemerintah hanya untuk fasilitas gorden 505 rumah dinas dan ditaksir setiap rumah biaya gorden 90 jt.

Aneh bin Ajaib-kan? Hanya fasilitas gorden satu rumah dinas dapat menghabiskan 90 juta. Sungguh tidak masuk akal (menurut Ubedillah Badrun, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta). 

Olehnya itu, ada dua poin penting yang hendak disampaikan. Pertama, pejabat pemerintahan perlu dikuasai oleh sarjana pemerintahan itu sendiri (politik atau hukum) sehingga kredibilitas tidak diragukan lagi.

Kedua, pejabat pemerintah penting punya latar belakang dari keluarga yang kurang mampu alias berasal dari kehidupan yang sederhana dan dekat dengan penderitaan sehingga pemerintah miliki rasa empati dan simpati terhadap rakyatnya.

Bahwa memang seperti itulah keadaan (ilmiah) pemerintah saat ini yang mana pejabat pemerintahan seringkali ditemui tidak sesuai dengan kapasitasnya sebagai pemegang pemerintahan.

Sedikit harapan dari saya mengenai dosen dengan metode belajar dan penekanan materi pada critical thinking ini kiranya perlu diperbanyak di kampus-kampus agar nalar kritis ilmiah mahasiswa terlatih dan terpelihara dengan baik sekaligus mengajak mahasiswa ter-ngakak ilmiah saat belajar di ruang kelas kampus.

Akhirnya, istilah yang sering dikeluarkan oleh beliau menyikapi persoalan negeri saat ini, dua kata: 'KACAU BALAU'. Saya pun ter-ngakak ilmiah setiap mendengar istilah ini dari beliau dengan ciri khas intonasinya yang seolah mengundang tawa. 

Membenarkan contoh-contoh critical thinkingnya, ouw iya iya, Hhhh (sambil tersenyum kecil).







Penulis: Abdullah (Mahasiswa Ilmu Hukum UINAM)  

Posting Komentar

0 Komentar